Ini yang Akan Terjadi Jika Upah Minimum 2026 Tak Naik 8,5 hingga 10,5 Persen

Ini yang Akan Terjadi Jika Upah Minimum 2026 Tak Naik 8,5 hingga 10,5 Persen

Jakarta, KPonline – Ancaman mogok nasional yang digelorakan oleh aliansi serikat pekerja kembali menghangat. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan koalisi serikat lainnya menegaskan bakal menggelar aksi mogok serempak jika penetapan kenaikan upah minimum tahun 2026 tidak berada pada kisaran yang mereka usulkan, yakni 8,5–10,5 persen. Pernyataan itu disampaikan dalam konsolidasi aksi nasional KSPI di JCC (Jakarta Convention Center) dan sejumlah konferensi massa yang berlangsung di berbagai daerah selama Oktober 2025.

Permintaan kenaikan di kisaran 8,5-10,5 persen, menurut pimpinan serikat, bukan sekadar angka politis. Mereka mengklaim angka tersebut dihitung berdasar kombinasi inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks kebutuhan hidup layak (KHL), rumusan yang acap kali disebut sebagai acuan wajar penetapan upah minimum setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pentingnya mempertimbangkan KHL dalam penetapan upah. KSPI dan Partai Buruh menilai kenaikan di bawah kisaran itu belum mampu menutupi pelemahan daya beli pekerja sepanjang 2024-2025.

Dalam beberapa pertemuan publik belakangan ini, pimpinan buruh menegaskan langkah eskalasi jika pembicaraan formal, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pembahasan nasional bersama Kementerian Ketenagakerjaan tidak menghasilkan keputusan yang memadai. Ancaman yang paling serius adalah mogok nasional, aksi serentak yang menurut beberapa laporan bisa melibatkan ratusan ribu hingga jutaan pekerja bila tuntutan tidak dipenuhi. Namun, jadwal pasti pelaksanaan mogok masih digodok dan akan bergantung pada hasil negosiasi serta kesiapan organisasi-organisasi serikat di daerah.

Pihak pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini menyatakan masih mengkaji formula yang akan dipakai dalam penetapan upah minimum 2026. Menaker mengingatkan pentingnya menyeimbangkan kepentingan buruh, pelaku usaha, dan stabilitas ekonomi agar lapangan kerja tidak tergerus oleh penyesuaian biaya upah. Dalam beberapa kesempatan pejabat terkait mengundang dialog terbuka dengan perwakilan serikat dan asosiasi pengusaha untuk mencapai titik temu.

Dari sisi serikat, figur-figur sentral seperti Said Iqbal (Presiden KSPI dan Partai Buruh) menjadi motor penggerak tuntutan. Mereka tidak hanya menuntut kenaikan persentase upah, tetapi juga mengaitkan tuntutan itu dengan agenda lebih luas, seperti pengesahan RUU Ketenagakerjaan versi buruh, penghapusan praktik outsourcing yang dinilai merugikan, serta perlindungan kerja lain yang menjadi sorotan massa. Bahkan, dalam orasi dan konferensi pers, pimpinan buruh menegaskan bahwa mogok bukan tujuan akhir tetapi alat tekanan terakhir apabila mekanisme dialog dan legislasi tidak mengakomodasi kepentingan rakyat pekerja.

Disisi lain, Asosiasi pengusaha mengingatkan potensi dampak sosial-ekonomi dari kenaikan upah yang signifikan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sektor padat karya. Sebagian ekonom menekankan pentingnya melihat kenaikan upah dalam konteks produktivitas, daya saing, dan kemampuan fiskal daerah. Karena penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota juga terkait kapasitas ekonomi lokal. Sementara itu, sejumlah pengamat politik memandang ancaman mogok sebagai upaya serikat memaksimalkan bargaining power menjelang periode penetapan upah tahunan yang biasanya berlangsung akhir tahun.

Kesiapan logistik dan koordinasi aksi menjadi sorotan. Karena mogok nasional skala besar membutuhkan koordinasi antar badan serikat di ratusan kabupaten/kota, kesiapan finansial untuk mendukung anggota yang tidak bekerja sementara, serta strategi komunikasi agar aksi tetap damai dan tertib. Laporan lapangan dari beberapa provinsi menunjukkan adanya konsolidasi lokal seperti rapat koordinasi cabang, penggalangan massa, dan persiapan administratif yang memperlihatkan bahwa ancaman mogok bukan sebatas retorika. Namun, sumber serikat juga menyatakan pihaknya masih memberi kesempatan dialog hingga batas waktu tertentu sebelum mengeksekusi langkah mogok.

Kemudian, apa akibat jika mogok terjadi? Jika komunikasi gagal dan mogok serentak berlangsung, dampak yang mungkin muncul antara lain gangguan produksi pada industri manufaktur dan jasa, tekanan pada rantai pasok (terutama bagi sektor padat karya), serta konsekuensi ekonomi daerah tergantung lama dan skala aksi. Pemerintah dan pengusaha kemungkinan besar akan menempatkan upaya mediasi darurat untuk meredam eskalasi. Namun bagi serikat, mogok yang berhasil memaksa pembicaraan ulang juga bisa menjadi kemenangan politik dan praktis jika tuntutan utama tercapai.

Kesimpulannya, ancaman mogok nasional ini mencerminkan ketegangan klasik antara kebutuhan pekerja untuk menyesuaikan upah dengan kebutuhan hidup yang naik, dan kekhawatiran pelaku usaha akan biaya produksi serta kelangsungan usaha. Dialog yang efektif, transparan, dan tanggal-tanggal keputusan yang jelas menjadi kunci agar potensi konflik tidak berubah menjadi krisis sosial-ekonomi.

Jika pembicaraan berjalan, masih ada peluang kompromi. Jika tidak, kalender aksi buruh akan menjadi penentu berikutnya.