Gembira Anies Baswedan dan Yuddy Chrisnandi Diganti

Reshuffle terhadap Anies Baswedan disayangkan banyak orang. Di media sosial, netizen ramai mempersoalkan ini. Menurut mereka, seorang Anies tidak layak diganti.

“Keputusan untuk mereshuffle Anies merupakan blunder bagi Jokowi,” begini kira-kira reaksinya. Bahkan ada yang meramal, reshuffle terhadap Anies justru akan menjadi modal politik Anies pada 2019 nanti. Kira-kira mirip seperti SBY ketika disia-siakan Megawati, kemudian justru mengalahkan Mega dalam Pemilu.

Tetapi kesedihan itu tidak berlaku bagi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Begitu mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhajir Effendy resmi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sebagai pengganti Anies Baswedan, Plt Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rasidi langsung mengucapkan selamat kepada Mendikbud yang baru.

Grup WA yang saya ikuti juga ramai soal reshuffle. Bahkan ada yang menulis, “Alkhamdulillah pak Yudhi dan pak Anis lengser.. manur nuwun Gusti. Sopo sing mungsuhi PGRI pasti tersingkir.

“Kita harus merayakan kemenangan atas hilangnya musuh honorer,” timpal yang lain.

Mengapa gembira Anies dan Yuddy diganti?

Yuddy dinilai pembohong, karena ingkar janji terkait pengangkatan tenaga honorer. Saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 15 September 2015, Menteri Yuddy berjanji akan menaikkan status tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara bertahap, dari tahun 2016 hingga tahun 2019. Saat itu, Yuddy menyampaikannya dihadapan Menteri Keuangan, Anggota Komisi II, PGRI, DPD RI, dan Badan Kepegawaian Negara.

Namun janji tinggal janji. Tanggal 20 Januari 2016, Menteri Yuddy membatalkan janjinya dengan alasan tidak ada regulasi dan tidak ada anggaran. Tentu saja, honorer kecewa. Padahal terkait pengangkatan sudah disepakati pada tanggal 15 September 2015 dalam rapat dengar pendapat.

Kekecewaan kaum guru makin menjadi, ketika Menteri Yuddy mengkriminalisasi seorang guru honorer asal Jawa Tengah, Mashudi. Mashudi bahkan sempat ditangkap dan mendekam selama beberapa hari dalam tahanan Polda Metro Jaya. Ketika itu, guru honorer yang sudah mengabdi selama 16 tahun dan digaji 350 ribu per bulan itu ditangkap lantaran mengirim pesan singkat (SMS) bernada ancaman.

Reaksi Yuddy yang melaporkan Mashudi ke Polisi dan kemudian dilakukan penahanan, dinilai banyak pihak berlebihan. Terlebih lagi, pada awalnya, Mashudi hanya mempertanyakan mengapa pengangkatan honorer urung dilakukan.

Hal lain, terkait dengan polemik perayaan HUT PGRI ke-70 yang digelar di Gelora Bung Karno pada tanggal 13 Desember 2015. Saat itu, Kemendikbud dan Kementerian PAN-RB tidak “merestui” acara rutin yang diselenggarakan PGRI.

Bahkan Yuddy Chrisnandi membuat Surat Edaran yang dikeluarkan tanggal 7 Desember 2015 dengan nomor surat B/3903/M.PANRB/12/2015 tentang perayaan hari guru 2015 yang ditujukan pada seluruh pemerintah daerah mulai dari gubernur, bupati/walikota, kepala dinas pendidikann provinsi maupun kabupaten/kota.

Dalam suratnya, Yuddy Chrisnandi meminta para guru agar menghindari semua bentuk aktivitas yang dapat mengurangi citra guru sebagai pendidik profesional. Intinya, melarang guru untuk ikut serta dalam peringatan HUT PGRI pada 13 Desember yang dikemas sebagai bagian dari rangkaian Hari Guru Nasional Tahun (HGN) 2015.

Tidak hanya Yuddy. Anies Baswedan pun angkat bicara.

Menurut Anies, pemerintah telah selesai menyelenggarakan rangkaian peringatan HGN 2015 pada November lalu. Puncak acara digelar pada 24 November 2015 di Istora Senayan, Jakarta dengan dihadiri Presiden Joko Widodo. Adapun upacara peringatan HGN 2015 digelar serentak di semua daerah di Indonesia pada 25 Desember 2015.

Anies mengingatkan agar organisasi publik manapun untuk menjaga diri agar tidak mengorganisir dan memanfaatkan guru-guru untuk tujuan berbagai kepentingan politik. Ini merujuk pada peringatan HGN yang akan diselenggarakan PGRI.

“Tidak diperkenankan organisasi apapun melakukan intimidasi, pemaksaaan serta mobilisasi guru-guru yang dapat mengganggu tugas-tugas utama guru. Ini bukan lagi era orba, dimana ormas berkumpul dng dimobilisasi oleh aparatur negara. zaman sudah berubah, pemerintah dan aparatur pemerintah tidak boleh dipakai untuk kepentingan-kepentingan ormas,” tuturnya.

 

PGRI meradang dengan ucapan ini. Anies seolah tidak tahu, bahwa PGRI yang berdiri sejak 70 tahun lalu, setiap tahun menggelar acara seperti ini.

Acara itu terselenggaran dengan sukses. Guru justru menjadikan sikap Yuddy dan Anies sebagai tantangan. Lebih dari 100 ribu guru hadir memenuhi GBK, bahkan meluber hingga keluar. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani akhirnya hadir dan disoraki ketika berpidato.

Seperti dendam yang terbayar lunas. Dengan digantinya Anies Baswedan dan Yuddy Chrisnandi, besar harapan pekerjaan rumah di dua kementerian ini bisa diselesaikan. (*)