Euthanasia Jaminan Sosial Dalam RUU Omnibus Law Kesehatan

Surabaya, KPonline – Saat ini, Jaminan Sosial dapat dikatakan menjadi tulang punggung tunggal dan palang pintu terakhir kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran SJSN dan BPJS, memberikan manfaat nyata berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang layak dan perlindungan masyarakat atas resiko sosial ekonomi yang mungkin menimpa.

Jaminan Sosial sejatinya menjadi tujuan berdirinya negara kesatuan republik Indonesia. Hal itu tersirat dalam pembukaan UUD 1945, frasa “memajukan kesejahteraan umum”. Setelah Rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya, barulah kemudian terbentuk pemerintah republik Indonesia. Pemerintah diberikan tugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk dalam Jaminan Sosial.

Bacaan Lainnya

Namun sekarang kondisinya terasa berbeda, semenjak Pemerintah mengusulkan RUU Omnibus Law Kesehatan, ada kesan penyimpangan amanah yang sudah dimandatkan oleh rakyat. Melalui RUU Kesehatan ini, pemerintah diduga ingin mengangkangi dan menyelewengkan Jaminan Sosial.

Jika ditilik lebih jauh rancangan UU Omnibus Law Kesehatan, “pengakhiran hidup (Euthanasia)” Jaminan Sosial didasarkan pada beberapa hal berikut :

1. Legalitas Jaminan Sosial

Tertuang dalam UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Status hukum BPJS adalah badan hukum publik yang bertanggung jawab pada Presiden.

Adapun kedudukan BPJS adalah Lembaga Negara non profit oriented yang bertanggung jawab pada Kepala Negara dan setiap 6 bulan sekali melaporkan langsung ke Presiden selaku Kepala Negara.

Pada RUU Omnibus Law Kesehatan pasal 7 ayat (2), BPJS memang masih bertanggungjawab pada Presiden, namun pelaporannya melalui kementerian terkait. Ini sama artinya, BPJS ditempatkan di bawah kementerian. BPJS Kesehatan dibawah kementerian Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dibawah kementerian Ketenagakerjaan.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan ketentuan yang sudah ada, dan malah membuat rancu status maupun kedudukan BPJS. Legalitas BPJS sebagai penyelenggara dan pengemban amanah rakyat pun menjadi kabur. Masih belum jelas, apakah dengan dibawah kementerian, BPJS tetap menjadi lembaga hukum publik, ataukah berubah menjadi BUMN, atau malah menjadi Dirjen?

Konsekuensi logisnnya, pertentangan internal akan tumbuh antara BPJS dan kementerian, serta tumpang tindihnya antar progam. Termasuk di dalamnya potensi konflik sistem tata kelola, pembagian kewenangan, implementasi maupun pengelolaan dana. Selanjutnya bisa ditebak siapa pemenangnya, regulator atau operator?

2. Kemandirian (Independensi) BPJS.

Seakan telah terdesign dengan baik, melanjutkan pelemahan legalitas BPJS. RUU Kesehatan pasal 13 huruf (k), semakin menegaskan dan mencekik ruang kehidupan Jaminan Sosial yaitu, BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian.

Tidak hanya rawan diintervensi oleh kementerian, makna yang tersirat juga terjadi penyusupan otoritas dan pembebanan kegiatan maupun anggaran pada lembaga publik. Penugasan kementerian ke BPJS adalah kebijakan yang sesat dan menyesatkan. Selain tidak ada dalam ketentuan, juga rawan politisasi dan penyimpangan.

Memang sebelumnya pernah ada penugasan dari kementerian terkait. Seperti saat BPJS Kesehatan mendapatkan penugasan melakukan penghitungan klaim RS dalam pembiayaan pandemi Covid 19, mitigasi KIPI dan yang terbaru pengalihan program Jampersal (Jaminan Persalinan).

Di BPJS Ketenagakerjaan tidak ada istilah penugasan kementerian, tetapi bentuk koordinasi atau kerjasama program. Seperti ketika itu BPJS Ketenagakerjaan diminta membantu melakukan pendataan progam Bantuan Subsidi Upah (BSU), program relaksasi iuran dan pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hasil kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja.

Dari kesemua itu tak urung menghambat kinerja layanan dan tidak jelasnya pelaksanaan. Masing-masing Kementrian selaku leading sektor, hingga hari ini belum merilis laporan resmi sebagai pertanggungjawaban pada program-program tersebut. Berapa biaya yang sudah dikeluarkan? Berapa jumlah sasaran yang telah dicapai? Apa hasil, kendala, dampak dan tindak lanjutnya?

Kementerian bisa jadi merasa nyaman dengan penugasan tersebut, dan bukan tidak mungkin kedepannya akan banyak penugasan yang makin merecoki tugas utama dan menyedot seluruh resource BPJS.

Intinya independensi BPJS sebagai lembaga negara dan pengemban amanah rakyat adalah sebuah keharusan dan wajib dipertahankan. Tanpa itu, BPJS mati suri, hidup segan mati pun enggan. Bagaikan robot, apa kata pemegang remote.

3. Pengebirian Stakeholder

Setelah legalitas BPJS dikaburkan, kemudian kemandirian BPJS dikekang, RUU Kesehatan ini juga melakukan pengebirian kepada pemangku kepentingan (stakeholder) di dalam Jaminan Sosial. Awalnya komposisi Dewan Pengawas pada UU BPJS adalah 2 orang dari unsur Pemerintah, 2 orang dari unsur Pemberi Kerja, 2 orang dari unsur Pekerja dan 1 dari unsur tokoh masyarakat.

Namun dalam RUU Kesehatan hal itu dirubah, pasal 21 ayat (3) komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan adalah 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang dari unsur Pemberi Kerja, 1 orang dari unsur Pekerja dan 1 orang dari unsur tokoh masyarakat.

Juga pasal 21 ayat (4) komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang dari unsur Pemberi Kerja, 1 orang dari unsur Pekerja dan 1 orang dari unsur tokoh masyarakat.

Pengkerdilan Dewan Pengawas dari unsur Pekerja dan Pemberi Kerja, menjadikan terkebirinya kepentingan Pekerja dan Pemberi Kerja. Maka terjadilah ketidakseimbangan internal dan inkosistensi kebijakan. Tendensinya, segala kepentingan dan kebijakan yang akan lahir, terindikasi dikontrol kuat oleh Kementerian. Sang pemegang remote.

Pengkerdilan wakil dan pengebirian kepentingan ini, akan menjadi sebuah pengingkaran perjuangan kaum buruh yang telah pendorong lahirnya BPJS, tentunya ini tidak akan dibiarkan dan dimaafkan begitu saja oleh kaum buruh. Yakin pemerintah mau mencoba?

Terlebih lagi pada pasal 21 ayat (9) yang menyatakan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan serta mengusulkan pergantian (recall) terhadap Dewan Pengawas unsur Pemerintah bidang Kementerian Kesehatan atau Ketenagakerjaan.

Ikut campur tangannya Menteri ini berpotensi menjadikan Jaminan Sosial sebagai alat kepentingan dan alat kekuasaan. Rekomposisi ini juga bisa mengarah kepada agenda/penugasan yang sengaja disembunyikan.

4. Kementrian Menjadi Pengendali Tunggal

Belum cukup sampai situ, kementerian makin menjadi dominator dalam pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan anggota Dewan Pengawas.

Pasal 28 mengamanatkan untuk memilih dan menetapkan anggota Direksi dan anggota Dewan Pengawas, pembentukan panitia seleksi (Pansel) dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Dan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan menjadi Ketua Pansel untuk masing-masing bidang.

Ditambah Pasal 34 menyatakan usulan pemberhentian anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan atau Kementerian Ketenagakerjaan kepada presiden.

Tidak habis pikir, bagaimana si penyusun rancangan UU memiliki pemikiran seperti ini. Membolak-balik perundang-undangan dan menyerahkan leher BPJS menuju kematian. Gambarannya seperti hendak menggagalkan tujuan Jaminan Sosial dan mengingkari janji kemerdekaan.

Jikalau pun Kementerian memiliki ambisi menjadi pengendali tunggal. Lalu apa keuntungan BPJS jatuh atau di mati surikan? Lalu siapa yang mengambil keuntungan jika bukan Kementerian? Pastinya menarik melihat tangan siapa yang bermain dibalik layar.

5. Dana Amanat

Jika membicarakan tentang keuntungan, maka tentunya tidak jauh dari uang. Apalagi uang di BPJS memang besar, BPJS Ketenagakerjaan saja setidaknya mengelola dana jaminan sosial sebesar 600 Triliun, sedangkan di BPJS Kesehatan uang yang berputar sekitar 200 Triliun.

Tapi jangan salah, uang itu sebenarnya bukan milik BPJS dan juga bukan milik pemerintah. Dana itu disebut Dana Amanat yang dititipkan ke BPJS untuk dikelola. Dana amanah adalah dana yang dikumpulkan dari peserta dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Bukan untuk kepentingan BPJS, bukan juga untuk kepentingan pemerintah atau Kementerian. Mungkin dana inilah yang menjadi sumber masalah, atau menarik banyak kepentingan karena tergiur besarnya penempatan atau perputaran dananya.

Celakanya, hilangnya independensi dan kewenangan penuh dari Direksi serta stakeholder, menjadikan pengelolaan DJS rawan intervensi, kepentingan pribadi bahkan kepentingan partai politik. Dana Amanat bisa jadi bancakan penguasa.

Dengan penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukannya, maka defisit pembiayaan dan mandeknya pengembangan program tidak terhindarkan. Dampaknya, iuran BPJS akan dipaksa terus naik dan naik, sehingga membebani masyarakat, ujungnya makin menjerumuskan BPJS dalam lubang penguburan.

Dana BPJS Kesehatan yang untuk pembiayaan pelayanan kesehatan saat masyarakat sakit, Dana BPJS Ketenagakerjaan untuk masyarakat terkena PHK, mengalami kecelakaan kerja hingga kematian, Akankah berakhir begitu saja? Bagaimana nasib masyarakat tanpa itu? Apakah RUU Kesehatan mensetting ending BPJS bernasib seperti Jiwasraya atau Taspen?

Penutup

Boleh saja ada pihak yang tidak sependapat dengan beberapa hal yang sudah disampaikan diatas. Faktanya RUU Kesehatan ini mendegradasi hak konstitusional warga negara, bertentangan dengan UUD dan UU terkait, serta menyimpang dari tujuan Jaminan Sosial. Masih pantaskah di dibahas lebih lanjut oleh pemerintah dan para dewan yang terhormat?

Jaminan sosial adalah amanah kemerdekaan, martabat bangsa, kemandirian negara, kesejahteraan sosial dan masa depan generasi bangsa. Jika RUU Kesehatan dipaksakan menjadi sebuah ketentuan hukum maka ini euthanasia terhadap Jaminan Sosial.

“Pembunuhan” Jaminan Sosial adalah ancaman kedaulatan bangsa dan bentuk tindakan makar terhadap hak konstitusional warga negara yang telah menyepakati berdirinya negara dan membentuk pemerintahan.

Apabila bukan Pemerintah atau Kementerian, siapakah yang ingin mengendalikan Jaminan Sosial? Siapa juga yang paling beruntung saat Jaminan Sosial mati suri?
Dugaan kita mungkin sama, apakah itu oligarki dan Asuransi Komersial?
Tumbuhnya kekuasaan oligarki, pasti akan memicu lahirnya kekuatan rakyat (people power).

Tidak ada keadilan sosial tanpa kesejahteraan sosial, tidak ada kesejahteraan sosial tanpa jaminan sosial. Salam sehat hak rakyat, Salam sejahtera hak pekerja

Mojokerto, Jum’at 10 Maret 2023
Ipang Sugiasmoro
Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran
Jamkeswatch Nasional

Pos terkait