Jakarta, KPonline-Jelang penetapan upah minimum 2026, Indonesia kembali menyaksikan tarik-menarik tajam antara dua kepentingan yang sulit didamaikan, yaitu serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah untuk menjaga hidup layak, dan pengusaha yang khawatir kenaikan besar akan menekan daya saing dan keuntungan perusahaan.
Bagi Buruh, upah bukan sekadar angka, melainkan urat nadi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, Koalisi serikat pekerja, termasuk Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI-KSPI), dan partai politik yang berpihak pada kaum buruh, konsisten menuntut kenaikan upah minimum antara 8,5% hingga 10,5% untuk tahun 2026.
Argumen mereka sederhana, yakni kenaikan itu mempertimbangkan inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan kebutuhan layak pekerja beserta keluarga yang selama ini kian tergerus oleh biaya hidup. Tokoh buruh menyebutkan bahwa upah yang memadai akan meningkatkan daya beli dan mendorong multiplier effect bagi ekonomi domestik.
Sedangkan, bagi pengusaha setiap menjelang penetapan upah minimum, mereka selalu membentuk opini klasik tentang kekhawatiran atas beban biaya dan kelangsungan usaha bila upah naik tidak sesuai keinginannya.
Kemudian di pihak lain, asosiasi pengusaha seperti Kadin dan Apindo menyuarakan keberatan terhadap tuntutan kenaikan hingga dua digit. Menurut perwakilan pengusaha, kenaikan besar bisa memaksa perusahaan mengambil langkah rasional seperti pengurangan tenaga kerja, menunda investasi, atau bahkan menutup usaha di sektor paling rentan. Mereka mendorong agar penetapan UMP/UMK tetap merujuk pada formula yang mempertimbangkan kondisi sektor dan kemampuan perusahaan secara bipartit.
Pun demikian, buruh sedikit diuntungkan. Karena, pertarungan ini mendapat dimensi baru setelah Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023) yang memaksa pemerintah untuk merumuskan ulang cara perhitungan upah minimum.
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dewan Pengupahan daerah kini harus menimbang data inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas saat merumuskan UMP/UMK 2026. Tugas yang secara praktis memaksa dialog antara unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Jika kenaikan diputuskan terlalu kecil, daya beli pekerja melemah; jika diputuskan terlalu besar tanpa kompensasi produktivitas, usaha kecil yang margin-nya tipis bisa kesulitan bertahan. Pemerintah daerah yang harus menyesuaikan UMP/UMK juga menghadapi dilema politik, dimana ia harus menopang kebutuhan warganya tanpa memicu eksodus investasi.
Singkatnya, kenaikan upah minimum 2026 lebih dari sekadar perdebatan angka. Melainkan, soal bagaimana negara menyeimbangkan keadilan sosial dengan stabilitas ekonomi.
Keputusan akhir nanti akan mencerminkan pilihan politik ekonomi. Apakah prioritas diletakkan pada peningkatan kesejahteraan pekerja yang mendorong permintaan domestik, atau pada proteksi terhadap iklim usaha agar investasi dan lapangan kerja tetap bertumbuh.
Satu hal yang jelas, tanpa dialog yang melibatkan semua pihak dan data yang transparan, keputusan apapun akan bernasib kontroversial dan mungkin meninggalkan korban di salah satu sisi.