Di Ambang Ramadhan: Cerita Pilu Buruh Kontrak dan Akal Bulus Perusahaan

 

Oleh: Kahar S. Cahyono

Di balik gemerlap perayaan, jangan lupa akan kisah para pekerja ini. Kisah yang seharusnya tidak pernah ada, jika saja keadilan dan kemanusiaan menjadi prioritas. Semoga di masa yang akan datang, cerita ini hanya menjadi kenangan pahit yang tidak akan terulang kembali. Semoga semua pekerja dapat merayakan lebaran dengan hati yang penuh kebahagiaan, tanpa beban kesedihan yang mengiringi.

Di tengah persiapan menyambut bulan Ramadhan, ada di antara kita yang justru dilanda kecemasan. Mereka adalah para buruh kontrak yang berada di ujung tanduk ketidakpastian. Setiap tahun, cerita yang sama berulang: banyak perusahaan yang memutus kontrak pekerja PKWT menjelang atau awal Ramadhan untuk menghindari pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR).

Buat saya, tindakan seperti ini, bagai luka yang terus menganga, menambah derita para pekerja yang seharusnya merayakan bulan suci dengan hati yang lapang dan gembira.

Di satu sisi, perusahaan mungkin melihat ini sebagai langkah efisiensi, tetapi bagi para pekerja, ini adalah akal bulus yang merenggut hak mereka. Hak untuk merayakan lebaran dengan sukacita, hak untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang justru meningkat di saat-saat seperti ini.

Bulan Ramadhan menjadi bulan yang penuh berkah, di mana setiap rumah dipenuhi dengan kebahagiaan dan persiapan menyambut hari kemenangan. Namun, bagi para pekerja PKWT yang terancam putus kontrak, bulan ini menjadi bulan yang penuh kegelisahan. Mereka harus memikirkan bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup, ketika penghasilan yang seharusnya mereka terima, lenyap begitu saja.

Kisah kesedihan ini bukanlah hal yang baru. Setiap tahun, cerita yang sama terulang kembali. Seolah menjadi tradisi tak resmi yang terus berlanjut, tanpa ada upaya yang serius untuk menghentikannya. Para pekerja, yang telah mengabdi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tiba-tiba harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka tidak lagi memiliki pekerjaan, tepat saat mereka paling membutuhkannya.

Dan ketika lebaran telah usai, ketika gemerlap lampu dan gema takbir telah reda, perusahaan-perusahaan ini kembali membuka lowongan, merekrut pekerja baru dengan kontrak yang sama, memulai siklus yang sama, tanpa ada perubahan.

Para pekerja yang sebelumnya di-PHK, kini harus bersaing kembali untuk mendapatkan pekerjaan yang sama, dengan ketidakpastian yang sama.

Pertanyaannya kemudian, sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Sampai kapan para pekerja harus terus menerima perlakuan tidak adil ini? Sudah saatnya para pemangku kebijakan, pemerintah, dan semua pihak yang terkait, untuk duduk bersama dan mencari solusi yang adil untuk masalah ini. Sudah saatnya untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja, agar mereka juga dapat merayakan lebaran dengan penuh sukacita, tanpa beban kegelisahan yang terus menghantui.

Di balik gemerlap perayaan, jangan lupa akan kisah para pekerja ini. Kisah yang seharusnya tidak pernah ada, jika saja keadilan dan kemanusiaan menjadi prioritas. Semoga di masa yang akan datang, cerita ini hanya menjadi kenangan pahit yang tidak akan terulang kembali. Semoga semua pekerja dapat merayakan lebaran dengan hati yang penuh kebahagiaan, tanpa beban kesedihan yang mengiringi.

Kesedihan ini semakin dalam ketika melihat anak-anak yang tidak mengerti mengapa tahun ini mereka tidak bisa memiliki baju baru seperti teman-temannya, atau mengapa hidangan di meja makan tidak seberlimpah tahun-tahun sebelumnya. Bagi seorang pekerja yang baru saja di-PHK, menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah hal yang sangat menyakitkan.

Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemanusiaan. Para pekerja ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan perusahaan, mereka adalah individu yang memiliki hak untuk hidup layak dan mendapatkan perlindungan.

Sebagai bagian dari kelas pekerja, kita harus menyadari bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi dasar dalam setiap tindakan, terutama dalam dunia kerja. Perusahaan harus mempertimbangkan dampak sosial dari keputusan mereka, bukan hanya berfokus pada keuntungan semata. Pemerintah pun harus hadir untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja, memastikan bahwa hak-hak mereka terpenuhi.

Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah kita semua berintrospeksi dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Semoga cerita kesedihan para buruh kontrak ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam setiap aspek kehidupan.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh