Medan,KPonline, – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia serta mengutamakan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, kaum buruh justru menjadi kelompok yang paling sering dipinggirkan.
Hakikatnya kaum buruh adalah tulang punggung pembangunan nasional, namun tidak pernah disertakan duduk bersama di meja perjamuan kekuasaan. Sementara pengusaha menumpuk kekayaan, dan penguasa sibuk mengatur panggung, buruh berjalan terseok di lorong yang panjang dan gelap, dipaksa berkompromi dengan sistem yang timpang.
Ketika pengusaha menekan upah buruh dan memangkas hak-hak normatifnya, penguasa justru menyodorkan legalitas dalam bentuk undang-undang pesanan.
Undang-Undang Cipta Kerja adalah bukti nyata lahir bukan dari rahim keadilan, tetapi lahir dari rahim sebuah pesanan serta kompromi antara modal dan kekuasaan, meski ditolak dengan berkali-kali aksi dan hasil uji materil di Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan inkonstitusional bersyarat, namun penguasa tetap mengesahkan dan mengimplemtasikannya dengan merubahnya menjadi Peraturan Pengganti Undang -undang, buruh tidak pernah diajak bicara,buruh hanya dituntut untuk menerima dan mematuhinya.
Lebih ironis, buruh yang bersuara tentang kebenaran dicap pembangkang, yang melawan dipecat atau dikriminalisasi, Serikat buruh digembosi dengan regulasi yang membatasi, dan ruang advokasi makin sempit oleh tekanan politik dan kekuatan uang.
Pengusaha dan penguasa terus tertawa dalam jamuan,berbagi keuntungan dari keringat, derita dan air mata kaum buruh.
Tangis buruh perempuan yang kehilangan hak cuti,jerit buruh kontrak yang di-PHK tanpa pesangon,ratapan buruh pabrik yang tidak pernah tahu kapan jaminan hari tuanya cair. Semua suara itu menggema di lorong-lorong gelap, yang ditelan oleh kebisingan propaganda pembangunan yang palsu.
Alasannya selalu demi investasi, demi pertumbuhan ekonomi, demi indeks kemudahan berusaha dan demi kesejahteraan, tetapi tak satu pun dari semua alasan itu menjadi sebuah kenyataan.
Prinsip pengusaha dengan modal sekecilnya harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan dengan semua cara dihalalkan tidak bisa ditawar, bagi buruh yang tidak sanggup silahkan hengkang dari perusahaan. penguasa yang konon katanya memberi jaminan perlindungan dan penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu, ternyata mengingkarinya.
Penguasa dan pengusaha sepakat, memandang kaum buruh hanya angka dalam laporan, bukan manusia yang harus diperjuangkan hak asasasinya dan martabat kemanusiaannya.
Melihat fakta kenyataan ini seharusnya kaum buruh harus menolak ketika terus didorong untuk berkompromi dalam gelap. Sudah saatnya kaum buruh bersatu, cahaya perlawanan wajib dinyalakan,bukan hanya untuk melawan ketidakadilan, tetapi juga untuk menolak sistem yang membungkam dan memperdagangkan kehidupan manusia, sebab selama kompromi itu terus hidup, penindasan akan terus disahkan.Dan buruh akan terus berjalan dalam lorong yang panjang dan gelap.
Kaum buruh harus bersatu melakukan perlawanan, membuktikan fakta kepada pengusaha yang culas dan penguasa yang curang bahwa kekuatan yang sebenarnya ada pada kaum buruh, dengan melakukan aksi mogok kerja nasional dan menghentikan semua roda produksi, dipastikan pengusaha yang culas dan penguasa yang curang akan memelas minta ampun. (Anto Bangun)