Deflasi Beruntun dan Daya Beli: Indonesia Kembali ke Titik Kritis?

Indonesia kembali mengalami fenomena yang jarang terjadi: deflasi beruntun selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan September mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan (month-to-month), angka yang semakin dalam dibandingkan deflasi Agustus 2024 sebesar 0,03%. Fenomena ini mengingatkan kita pada situasi tahun 1998/1999, ketika Indonesia juga dilanda deflasi beruntun dalam periode krisis yang penuh ketidakpastian.

Jika kita perhatikan kondisi pasar Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar akibat menurunnya daya beli masyarakat. Dalam lima bulan terakhir, deflasi beruntun menjadi salah satu indikator nyata bahwa permintaan barang dan jasa mulai melemah. Penurunan harga di berbagai sektor, terutama pangan, bukan lagi pertanda stabilnya ekonomi, melainkan sinyal bahwa masyarakat mulai kesulitan untuk membeli barang, bahkan yang bersifat kebutuhan pokok.

Bacaan Lainnya

Di beberapa sektor, seperti ritel dan konsumsi, tren penurunan penjualan sudah terlihat. Toko-toko mulai melaporkan penurunan jumlah pelanggan, dengan stok barang yang lebih lama tersimpan karena pergerakan pasar yang lesu. Supermarket yang biasanya ramai dengan pembeli kini lebih sepi, dan meskipun harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak, dan sayuran turun, konsumen masih cenderung menahan diri untuk berbelanja. Ini bisa jadi cerminan bahwa masyarakat lebih memilih menabung untuk kebutuhan mendesak di tengah ketidakpastian ekonomi.

Dalam beberapa bulan terakhir, sektor ritel mengalami tekanan yang semakin kuat. Toko-toko fisik mengalami penurunan jumlah pengunjung, terutama di daerah urban, di mana perubahan pola konsumsi masyarakat lebih terasa. Banyak konsumen yang mulai lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang, berfokus pada kebutuhan dasar dan menghindari pembelian barang non-esensial.

Platform e-commerce yang sebelumnya diharapkan menjadi pendorong konsumsi, juga tidak terhindar dari dampak menurunnya daya beli. Meskipun penjualan online sempat melonjak pada masa pandemi, saat ini trennya mulai stagnan. Diskon besar-besaran dan promosi yang gencar pun tidak lagi mampu menarik konsumen seperti sebelumnya. Ada perubahan pola pikir masyarakat, di mana belanja online yang semula dianggap praktis kini lebih dilihat sebagai tambahan yang bisa ditunda.

Sektor makanan dan minuman, yang biasanya relatif tahan terhadap fluktuasi ekonomi, kini juga mulai merasakan dampaknya. Restoran, kafe, dan warung makan mulai melihat pengurangan jumlah pelanggan. Bukan hanya itu, banyak konsumen yang kini lebih memilih untuk makan di rumah, membeli bahan makanan yang lebih murah, atau bahkan mengurangi frekuensi makan di luar.

Selain itu, produk makanan premium dan impor mengalami penurunan permintaan signifikan. Konsumen beralih ke produk lokal yang lebih terjangkau, mengurangi pengeluaran untuk barang-barang dengan harga tinggi. Beberapa restoran bahkan mulai menawarkan menu yang lebih sederhana dengan harga lebih murah demi menarik kembali pelanggan.

Industri properti juga tidak luput dari dampak menurunnya daya beli. Penjualan properti, baik rumah tapak maupun apartemen, mulai menurun karena masyarakat enggan berinvestasi di tengah ketidakpastian ekonomi. Bank memperketat pemberian kredit, dan banyak konsumen yang menunda keputusan untuk membeli rumah atau apartemen, khawatir dengan ketidakstabilan pendapatan.

Sektor kendaraan bermotor mengalami penurunan yang serupa. Data penjualan mobil dan motor menunjukkan tren penurunan, bahkan dengan program promosi besar-besaran dari para produsen. Masyarakat cenderung menahan diri untuk membeli kendaraan baru, memilih untuk memperbaiki kendaraan yang ada atau menunggu stabilnya situasi ekonomi sebelum membuat keputusan besar.

Salah satu alasan utama dari menurunnya daya beli ini adalah meningkatnya angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan meningkatnya jumlah pengangguran, masyarakat yang kehilangan pendapatan semakin berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Menurut data terbaru, angka PHK terus meningkat, dan para pekerja yang terkena dampak ini kini harus memprioritaskan kebutuhan pokok sambil berusaha mencari pekerjaan baru.

Penurunan pendapatan bagi mereka yang masih bekerja juga memperparah situasi. Banyak perusahaan yang mulai memangkas bonus, insentif, atau bahkan gaji bulanan sebagai respons terhadap penurunan permintaan di pasar. Dampaknya, rumah tangga mulai mengurangi pengeluaran mereka, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun investasi jangka panjang.

Barang-barang non-esensial, seperti elektronik, pakaian, dan barang mewah, mengalami penurunan penjualan paling tajam. Konsumen kini lebih memilih untuk menunda pembelian barang-barang yang tidak mendesak, bahkan jika ada diskon besar-besaran. Pengeluaran untuk kebutuhan sekunder, seperti hiburan dan gaya hidup, juga mulai dikurangi secara drastis.

Pasar barang-barang mewah, yang biasanya didorong oleh kelas menengah ke atas, turut merasakan dampaknya. Mereka yang sebelumnya gemar membeli produk fashion, gadget terbaru, atau barang-barang impor, kini mulai lebih berhati-hati dalam berbelanja. Penghematan ini menjadi refleksi dari ketidakpastian ekonomi yang dirasakan oleh hampir semua kalangan.

Kondisi pasar saat ini menjadi refleksi nyata dari menurunnya daya beli masyarakat Indonesia. Jika daya beli tidak segera dipulihkan, kelesuan ini bisa berlanjut dan memperdalam kontraksi ekonomi. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis, baik melalui kebijakan fiskal maupun program stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kembali. Tanpa intervensi yang cepat dan tepat, pasar akan terus terjebak dalam situasi stagnan, sementara masyarakat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

 

Secara sederhana, penurunan harga pangan memang sering disebut sebagai faktor utama terjadinya deflasi. Ketika harga bahan pangan, seperti cabai dan beras, turun karena pasokan yang cukup, angka inflasi otomatis melandai. Namun, apakah penjelasan ini cukup untuk menggambarkan fenomena deflasi beruntun yang terjadi selama lima bulan terakhir?

Mari kita jujur sejenak. Meskipun penurunan harga pangan memang membantu menjaga stabilitas inflasi, ada faktor yang lebih besar dan lebih kompleks yang mungkin sedang kita abaikan: pelemahan daya beli masyarakat. Ini bukan hanya soal pasokan pangan yang cukup, melainkan juga tentang apakah masyarakat memiliki uang yang cukup untuk membeli barang dan jasa. Dalam hal ini, semakin banyak pengamat dan ekonom yang mulai khawatir bahwa daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan drastis. Dan sayangnya, deflasi sering kali menjadi cermin dari melemahnya permintaan di pasar.

Daya Beli yang Melemah: Gejala Krisis Ekonomi?

Kita semua tahu bahwa ekonomi Indonesia selama ini lebih sering mencatat inflasi ketimbang deflasi. Mengapa? Karena dalam keadaan normal, harga barang cenderung naik akibat tingginya permintaan atau terganggunya pasokan. Namun, ketika kita berbicara tentang deflasi yang terjadi berulang kali, itu sering kali menandakan adanya penurunan permintaan. Masyarakat tidak lagi membeli barang sebanyak dulu, bukan karena mereka tidak butuh, tetapi karena daya beli mereka menurun.

Apa yang menyebabkan penurunan daya beli ini? Salah satu jawabannya bisa dilihat dari angka pengangguran yang meningkat tajam dan semakin banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), pada Agustus 2024 terjadi lonjakan PHK sebesar 23,72%, dengan total 46.240 orang kehilangan pekerjaan, dibandingkan dengan 37.375 pada periode yang sama di tahun 2023. Lonjakan ini jelas menggambarkan kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.

Mereka yang terkena PHK tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan pendapatan, yang membuat mereka rentan jatuh ke dalam kategori miskin. Semakin banyak pengangguran, semakin rendah daya beli masyarakat. Inilah lingkaran setan yang sering kali sulit diputuskan dalam situasi seperti ini: pengangguran meningkat, daya beli melemah, permintaan turun, dan ekonomi terus terpuruk.

Jika kita kilas balik ke akhir 1990-an, Indonesia berada di tengah krisis finansial yang luar biasa. Deflasi saat itu juga menjadi tanda bahwa perekonomian sedang menghadapi pelemahan daya beli masyarakat secara masif. Kondisi ini bukan sekadar tentang harga barang yang turun, tetapi lebih kepada ketidakmampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa, meskipun harganya rendah.

Sekarang, tahun 2024, meskipun situasi tidak seburuk krisis 1998, ada beberapa kesamaan yang mencolok. Pertama, tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi. Meskipun data Februari 2024 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun menjadi 4,82%, dengan 7,20 juta orang pengangguran, ini tetap angka yang mengkhawatirkan. Bahkan, meskipun angka ini terendah sejak era reformasi, realitanya adalah bahwa lebih dari 7 juta orang ini berada dalam kondisi rawan jatuh ke jurang kemiskinan.

Pertanyaan terbesar yang harus kita ajukan adalah: bagaimana pemerintah akan mengatasi fenomena deflasi ini? Mengandalkan stabilitas harga pangan saja jelas tidak cukup. Pemerintah harus serius menangani masalah pengangguran dan daya beli yang melemah. Tanpa langkah konkret, deflasi bisa menjadi pertanda awal dari krisis ekonomi yang lebih dalam.

Diperlukan kebijakan yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja baru, perlindungan bagi tenaga kerja yang terdampak PHK, dan stimulasi ekonomi yang nyata. Jika tidak, lima bulan deflasi bisa segera berubah menjadi tanda bahwa kita sedang memasuki masa-masa sulit yang panjang, di mana perekonomian tidak hanya stagnan, tetapi juga terjebak dalam spiral negatif yang semakin sulit dihentikan.

Inilah saatnya bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk tidak hanya melihat deflasi sebagai angka statistik. Deflasi ini adalah gambaran nyata bahwa perekonomian kita sedang berada di persimpangan yang genting. Jika tidak segera diambil langkah serius, kita mungkin akan melihat situasi seperti 1998 kembali terjadi.

Laura Sardi

Pos terkait