Bab 5
Tangis yang bukan karena sedih, tapi karena campuran haru, lelah, dan rasa bersalah yang selama ini kupendam. Di tengah semua kesibukan, di antara suara bising mesin dan himpitan target produksi, aku hampir saja lupa: anak kecilku hanya butuh satu hal sederhana—kehadiran.
Tapi nyatanya, kehadiran itu semakin sulit kugenggam.
Esok harinya, tubuhku seperti enggan diajak berdiri. Sendi-sendi rasanya copot. Tapi waktu tak pernah menunggu. Pabrik tetap menuntutku hadir tepat waktu, dan target baru yang lebih tinggi sudah menanti sejak jam pertama.
Kupaksakan diri mandi, memasukkan bekal seadanya ke dalam tas, dan mencium kening Adit yang masih tidur. Sejenak aku terpaku. Kulitnya pucat, napasnya tenang. Tapi aku tahu, hatinya belum sepenuhnya tenang.
Sepanjang perjalanan ke pabrik, pandanganku buram. Mungkin karena kantuk. Mungkin juga karena pikiran yang tak berhenti berlari. Aku merasa seperti tali karet yang ditarik dari dua sisi—antara menjadi ibu yang hadir atau buruh yang patuh.
Sampai akhirnya, tubuhku benar-benar menyerah.
Sekitar jam dua siang, saat aku tengah berdiri di depan mesin, mataku mulai berkunang-kunang. Suara mesin yang biasanya bisa kutahan, kini terasa menekan dadaku. Pandanganku berputar. Aku masih mencoba bertahan. Tapi saat aku ingin melangkah ke dispenser untuk minum, dunia tiba-tiba gelap.
Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saat tersadar, aku sudah terbaring di ruang UKS kecil di belakang pabrik, hanya dialasi tikar dan kipas angin tua yang berderit. Di sebelahku, Pak Beni sedang berbicara dengan Mbak Rina dari HRD.
“Kasih aja vitamin, nanti juga kuat lagi,” kata Pak Beni sambil berdiri dan meninggalkanku begitu saja.
Mbak Rina menatapku dengan iba, lalu menyodorkan segelas air dan tablet vitamin.
“Rina, kamu pingsan. Kata teman-teman, kamu belum makan dari pagi, ya?”
Aku hanya mengangguk pelan. Kepalaku masih berat, tapi hatiku lebih berat lagi. Dalam hati aku bertanya-tanya: apakah benar aku hanya alat yang dinilai dari seberapa lama bisa berdiri?
Setelah satu jam, aku disuruh kembali ke jalur produksi. Tidak ada surat izin istirahat. Tidak ada pemeriksaan lebih lanjut. Hanya vitamin dan anggapan bahwa aku bisa lanjut kerja karena masih bisa membuka mata.
Sore hari, aku pulang lebih lambat karena harus menyelesaikan bagian kerja yang tertunda. Adit menunggu lagi di depan rumah, kali ini tak sendiri. Bu Rani, tetangga sebelah, duduk di bangku panjang dengan Adit di pangkuannya.
“Dia demam lagi, Rin,” kata Bu Rani sambil mengelus rambut Adit. “Tadi muntah dua kali. Saya kasih paracetamol anak-anak yang masih ada di rumah.”
Deg. Aku berlari, menjemput Adit, memeluknya dengan panik. Tubuhnya panas, tapi matanya tetap memandangku, seolah berkata: “Aku masih nunggu, Ma…”
Malam itu aku merasa menjadi manusia paling gagal di dunia.
Kupeluk Adit sampai ia tertidur di pangkuanku. Di luar kamar, aku mendengar suara tetangga yang sedang bercanda, anak-anak bermain kelereng, suara motor lewat. Tapi semuanya terasa jauh. Di dunia kecilku, hanya ada aku dan Adit—dan rasa bersalah yang makin besar.
Aku sadar, tidak bisa terus mengandalkan kebaikan hati tetangga. Mereka sudah terlalu sering membantu menjaga Adit. Tapi anakku bukan tanggung jawab mereka.
Dan malam itu, setelah memastikan Adit tertidur, aku membuka lagi buku catatanku. Aku tulis:
“Plan B dimulai sekarang. Menjahit, jualan online, freelance. Target: 3 bulan keluar dari pabrik. Demi Adit.”
Sambil menulis itu, aku tahu perjuangan akan berat. Tapi lebih berat lagi kalau aku harus melihat Adit sakit karena ibunya terlalu sibuk mengejar gaji yang bahkan tak cukup membeli kebahagiaan.
**
Malam itu, setelah mencatat rencana kecilku, aku duduk lama di dekat jendela. Angin malam menerpa wajahku pelan. Rasanya seperti dunia sedang menepuk pundakku, mengingatkanku bahwa langkah besar selalu dimulai dari keputusan paling sunyi.
Aku tahu, tak akan mudah. Tapi diam lebih menyakitkan.
Esoknya, sepulang kerja, aku sengaja tidak langsung pulang. Aku mampir ke kios jahit milik Bu Lis yang tak jauh dari gang rumahku. Selama ini aku hanya lewat dan melihat-lihat dari kejauhan. Tapi malam itu, aku beranikan diri masuk.
“Bu Lis… saya mau belajar jahit,” ucapku pelan sambil menunduk. “Boleh… kalau saya bantu-bantu di sini, dan Ibu ajarkan saya?”