BAB 1
Namaku Rina.
Usiaku 34 tahun, dan aku seorang buruh pabrik tekstil di daerah pinggiran kota. Setiap hari aku berangkat kerja sebelum matahari terbit dan pulang ketika langit sudah gelap. Bukan karena aku gila kerja—tapi karena hidup tidak memberiku pilihan lain.
Aku tinggal di sebuah rumah petakan kecil bersama anakku satu-satunya, Adit. Dia kelas 1 SD, anak yang manis, lucu, dan terlalu pintar untuk seusianya. Kadang aku merasa Adit lebih dewasa daripada aku sendiri.
Dia tidak pernah rewel meski aku jarang di rumah. Dia hanya minta satu hal setiap hari: dibacakan dongeng sebelum tidur. Dan meski mataku sudah berat, tubuh rasanya remuk, aku selalu menyisakan tenaga untuk itu. Karena di antara semua rutinitas hidup yang melelahkan, itulah momen yang membuatku merasa jadi manusia.
Setiap pagi aku berangkat kerja sambil membawa bekal nasi goreng dingin dan teh manis di botol plastik bekas. Di pabrik, aku bekerja di bagian jahit. Tanganku sudah terbiasa dengan mesin jahit industri—kadang bahkan lebih akrab dengan benda itu daripada dengan ponselku sendiri.
Pabrik tempatku bekerja bukan tempat yang buruk, tapi juga jauh dari kata nyaman. Teman-temanku sebagian besar perempuan setengah baya, seperti Bu Lilis yang suka bercerita soal cucunya, atau Yani yang sedang menabung untuk menikah tahun depan.
Kami semua punya cerita, tapi tak banyak yang sempat didengar. Karena mesin tak pernah berhenti berdengung, dan waktu tak pernah benar-benar cukup untuk mengeluh.
Aku tak punya ambisi besar. Tak ingin jadi manajer, tak mimpi punya rumah megah. Aku hanya ingin bisa hidup tenang, cukup makan, dan melihat Adit tumbuh sehat dan bahagia.
Kupikir, itu bukan harapan yang berlebihan.
Tapi ternyata… hidup punya caranya sendiri untuk menguji kita.
—————-
Ujian itu tidak datang dalam bentuk badai besar. Ia hadir perlahan,lewat jam kerja yang makin panjang, lewat suara mesin yang makin nyaring, dan lewat raut wajah Adit yang mulai terlihat berbeda.
Dulu, setiap aku pulang, Adit akan berlari menyambutku di depan pintu. Tapi kini, ia hanya duduk diam sambil menggambar di sudut ruang. Wajahnya masih tersenyum, tapi senyuman itu seperti sedang menyimpan tanya. Kadang aku bertanya dalam hati, apa ia sedang belajar menerima kenyataan bahwa ibunya lebih sering ada di pabrik daripada di rumah?
Suatu malam, saat aku hampir tertidur karena lelah, Adit menyodorkan secarik kertas.
“Ini gambar aku sama Bunda jalan-jalan ke taman,” katanya.
Aku menatap gambar itu—aku digambar sedang tersenyum memegang es krim, sementara Adit duduk di bahu kiriku. Di belakang kami ada matahari, awan, dan tulisan besar berbunyi:
“HARI YANG BAHAGIA.”
Aku diam. Tenggorokanku terasa kering. Kami belum pernah benar-benar jalan-jalan ke taman sejak dua tahun terakhir. Bahkan akhir pekan pun sering kupakai untuk lembur.
“Bagus banget, Nak…” jawabku pelan sambil mengelus kepalanya.
“Suatu hari nanti ya, kita ke taman beneran,” tambahku.
Adit mengangguk, tapi tidak terlihat sepenuhnya yakin. Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada penolakan sekalipun.
Pagi-pagi sebelum aku berangkat kerja, Adit memelukku lebih erat dari biasanya.
“Bunda, jangan pulang malam lagi ya… Aku takut sendirian.” Kalimat itu menghantamku seperti palu. Aku mematung.
Satu bagian dari diriku ingin berkata, “Iya, Bunda janji.”
Tapi bagian lainnya sadar, aku tidak bisa menepati janji itu. Jadi aku hanya membalas pelukannya dan berbisik, “Bunda sayang Adit. Bunda kerja biar Adit bisa sekolah tinggi dan beli buku gambar sebanyak yang Adit mau.”
Kupikir ia akan protes. Tapi Adit hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke kamarnya.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, aku menangis di jalan menuju pabrik—bukan karena lelah, tapi karena merasa bersalah.
Aku bekerja keras untuk masa depan Adit. Tapi apa gunanya masa depan kalau aku perlahan kehilangan masa kini bersamanya?
—————-