Tahun 2025 bagi buruh di Batam bisa digambarkan sebagai tahun yang penuh gejolak, di mana suara-suara pekerja bergema lebih kencang dari sebelumnya. Batam, sebagai pusat industri manufaktur dan zona ekonomi khusus di Kepulauan Riau, selalu menjadi rumah bagi ribuan buruh migran yang datang dari berbagai penjuru Indonesia untuk mencari nafkah.
Namun, di balik gemerlap pabrik-pabrik elektronik, galangan kapal, dan kawasan industri, tahun ini menyimpan cerita tentang ketidakadilan upah, ketidakpastian kerja, dan perlawanan kolektif yang semakin solid.
Sebagai catatan akhir tahun, kami menetelusuri perjalanan buruh Batam sepanjang 2025, dari awal tahun yang masih dipenuhi optimisme pasca-pandemi hingga akhir tahun yang diramaikan oleh aksi-aksi besar, termasuk demo masif di tengah perayaan Hari Jadi Batam ke-196.
Awal tahun 2025 dimulai dengan nada positif bagi sebagian buruh, meski bayang-bayang tantangan ekonomi global masih mengintai. Pada Januari, pemerintah pusat mengumumkan kenaikan upah minimum kota (UMK) Batam yang mencapai sekitar 7-8 persen dari tahun sebelumnya, berdasarkan formula yang mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, bagi serikat buruh seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), kenaikan itu terasa minim. Mereka menilai bahwa biaya hidup di Batam, yang meliputi sewa rumah, transportasi, dan kebutuhan dasar, telah melonjak akibat inflasi pasca-pandemi dan fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Kami butuh upah layak, bukan sekadar tambahan recehan,” begitu kata Yapet Ramon, Ketua KC FSPMi Batam saat itu, mencerminkan frustrasi yang mulai membara.
Seiring berjalannya kuartal pertama, isu outsourcing menjadi sorotan utama. Sistem ini, yang memungkinkan perusahaan merekrut pekerja kontrak melalui pihak ketiga, dianggap sebagai biang kerok upah murah dan minimnya perlindungan kerja.
Pada Februari, ratusan buruh dari PT ASL, sebuah perusahaan galangan kapal terkemuka di Batam, menggelar aksi kecil-kecilan menuntut penghapusan outsourcing.

Mereka bercerita tentang kondisi kerja yang berbahaya, seperti kurangnya alat keselamatan dan jam kerja yang melebihi batas, tanpa jaminan pensiun atau cuti yang layak. Aksi ini bukan yang pertama; sejak 2024, sudah ada gelombang PHK massal di sektor manufaktur akibat relokasi pabrik ke Vietnam dan Thailand, di mana biaya produksi lebih rendah.
Data dari Dinas Tenaga Kerja Batam menunjukkan bahwa setidaknya 5.000 buruh kehilangan pekerjaan di awal 2025, sebagian besar karena efisiensi perusahaan asing.
Memasuki Maret hingga Juni, perjuangan buruh semakin terorganisir. Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025 menjadi momentum besar. Ribuan buruh Batam bergabung dalam aksi nasional, dengan tuntutan utama termasuk revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), dan pembentukan Satgas PHK.
Di Batam, aksi ini dipimpin oleh koalisi serikat seperti FSPMI dan SPSI, yang menggelar long march dari kawasan industri Muka Kuning hingga pusat kota. Mereka juga menyoroti isu pajak yang membebani pekerja, seperti pajak atas tunjangan hari raya (THR) dan pesangon, yang dianggap sebagai pemotongan ganda atas jerih payah mereka.
“Buruh sudah bayar pajak melalui PPh 21, kenapa THR dan pesangon juga dipajaki? Ini seperti merampok hak kami,” ujar seorang buruh perempuan dari sektor elektronik dalam orasinya.
Aksi Mei itu berlangsung damai, tapi meninggalkan pesan kuat kepada pemerintah daerah dan pusat.
2025 membawa tantangan baru: krisis energi dan dampak perubahan iklim. Banjir bandang di kawasan industri pada Juli memaksa beberapa pabrik tutup sementara, menyebabkan ribuan buruh dirumahkan tanpa upah penuh.
Serikat buruh segera merespons dengan mendesak perusahaan menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang lebih baik, termasuk asuransi banjir dan kompensasi. Pada saat yang sama, isu lingkungan mulai terintegrasi dalam tuntutan buruh.
Beberapa serikat menyoroti polusi dari pabrik-pabrik kimia yang memengaruhi kesehatan pekerja, seperti kasus keracunan udara di salah satu kawasan di Batam Centre.
Ini menjadi catatan penting bahwa perjuangan buruh tak lagi hanya soal upah, tapi juga hak hidup sehat di tengah ekspansi industri yang tak terkendali.
Batam, sebagai salah satu pusat industri galangan kapal terbesar di Indonesia, menyimpan potret kelam terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Sektor ini, yang menyerap ribuan pekerja—banyak di antaranya migran dan subkontraktor—sering menjadi sorotan karena rentetan kecelakaan kerja yang memakan korban jiwa. Tahun 2025 menjadi tahun tragis, dengan kasus berulang yang menewaskan puluhan pekerja, terutama di galangan kapal seperti PT ASL Shipyard Indonesia. Data menunjukkan bahwa semester pertama 2025 saja mencatat 2.825 kasus kecelakaan kerja di seluruh Tragedi Berulang di PT ASL Shipyard, salah satu galangan kapal terbesar di Tanjung Uncang, Batam, menjadi pusat perhatian karena insiden berulang pada kapal tanker MT Federal II. Pada 24 Juni 2025, kebakaran dan ledakan di kapal yang sama menewaskan 4-5 pekerja serta melukai 5-9 lainnya.
Penyebab diduga kelalaian dalam pembersihan tangki, seperti kurangnya sterilisasi sisa bahan bakar dan pemeriksaan kadar oksigen. Ombudsman RI menyebut ini sebagai “kelalaian yang terus berulang”, dengan kritik terhadap lemahnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).Tragedi berlanjut pada 15 Oktober 2025, ketika kapal Federal II kembali meledak dan terbakar saat perbaikan.
Insiden ini menewaskan 10-13 pekerja (angka bertambah karena korban luka kritis meninggal kemudian) dan melukai 18-20 orang. Total korban jiwa dari dua insiden ini mencapai 18 orang dalam satu tahun, pada kapal dan lokasi yang sama.
Penyelidikan polisi menemukan dugaan kelalaian dalam prosedur cleaning bunker dan pelimpahan kerja ke subkontraktor yang membayar upah di bawah UMK. Dua petugas HSE (Health, Safety, and Environment) dari subkontraktor ditetapkan tersangka.
Sejak 2017, PT ASL telah mencatat setidaknya tiga insiden besar dengan total lebih dari 20-22 korban tewas, termasuk kebakaran kapal Gamkonora yang menewaskan 5 pekerja.
Ini menjadikan PT ASL sebagai “galangan paling mematikan” di Batam, dengan kritik tajam terhadap ventilasi buruk, alat keselamatan minim, dan pengawasan lemah.Rentetan Kasus Lain di Galangan Kapal BatamTidak hanya PT ASL, galangan kapal lain juga rawan kecelakaan:
- Agustus 2025: Di PT Sumber Marine Shipyard, pekerja muda M. Raudhul Ma’arif (20) tewas tersengat listrik akibat mesin gerinda rusak.
- Agustus 2025: Di PT Sumber Makmur Samudra (SMS), kasus berulang menewaskan pekerja akibat sengatan listrik dan tertimpa material.
- Agustus 2025: Di PT Lestari Ocean Indonesia (LOI), supervisor Ignasius Igo (43) tewas tenggelam saat menyelam memeriksa balon ganjalan kapal.
Dalam dua bulan (Juni-Agustus 2025), setidaknya 8 pekerja tewas di sektor galangan kapal dan konstruksi terkait. Gubernur Kepri memerintahkan pengawasan diperketat, sementara serikat buruh menilai ini sebagai “darurat K3”.Penyebab Utama dan Faktor RisikoKecelakaan di galangan kapal sering dipicu oleh:
- Kelalaian prosedur: Pengerjaan las atau pembersihan tangki tanpa sterilisasi sisa bahan mudah terbakar, ventilasi buruk, dan kurangnya pemeriksaan gas beracun.
- Sistem outsourcing/subkontraktor: Pekerja alih daya sering minim pelatihan K3, alat keselamatan, dan upah rendah, menyebabkan pengawasan putus.
- Alat dan lingkungan kerja: Mesin rusak, kerja di ketinggian/tangki sempit, tanpa APD lengkap.
- Lemahnya pengawasan: Disnaker dan perusahaan sering reaktif, hanya bertindak pasca-kecelakaan.
Statistik keseluruhan Batam menunjukkan tren naik: Dari 5.340 kasus (2022) menjadi 7.006 (2024), dengan galangan kapal sebagai sektor berisiko tinggi.Respons Pemerintah, DPRD, dan Serikat Buruh
- Pemerintah: Wali Kota Batam Amsakar Achmad sidak ke PT ASL, desak evaluasi total K3 dan seleksi subkontraktor. DPRD Batam gelar RDPU, komitmen kawal hak korban dan reformasi K3. Wakil Gubernur Kepri janji audit menyeluruh semua galangan kapal.
- Serikat Buruh: Koalisi seperti FSPMI dan SPL gelar demo besar-besaran pada Oktober 2025 di depan PT ASL dan Pemko Batam. Tuntutan: Hentikan sementara operasi PT ASL, hapus outsourcing, evaluasi K3 total, sanksi tegas perusahaan lalai, dan bentuk tim investigasi independen. Ratusan hingga ribuan buruh turun, dengan spanduk “Tolak Upah Murah dan K3 Amburadul”.
Asosiasi Ahli K3 (A2K3) Kepri desak audit sistemik, sementara aktivis buruh sebut Batam “ladang kematian” bagi pekerja.Menuju Perbaikan: Harapan dan TantanganMeski ada komitmen dialog dan audit, kritik tetap mengalir: Pengawasan masih lemah, proses hukum lambat, dan budaya keselamatan belum prioritas. Serikat buruh menekankan bahwa nyawa pekerja bukan “angka statistik”. Menuju 2026, diharapkan regulasi K3 diperketat, pelatihan wajib, dan penghapusan outsourcing di pekerjaan inti berisiko tinggi.
Keselamatan kerja di galangan kapal Batam bukan hanya isu teknis, tapi hak asasi pekerja. Tragedi 2025 menjadi pengingat bahwa pertumbuhan industri harus sejalan dengan perlindungan manusiawi bagi ribuan buruh yang menjadi tulang punggung ekonomi pulau ini.
Agustus hingga Oktober menjadi puncak gejolak. Pada 28 Agustus 2025, ribuan buruh Batam ikut serta dalam aksi nasional yang melibatkan puluhan ribu pekerja di seluruh Indonesia.
Di Batam, demo difokuskan di depan kantor Wali Kota dan BP Batam, dengan sembilan tuntutan utama: hapus outsourcing, tolak upah murah, kenaikan UMK 2026, cabut PP 35/2021 tentang kontrak kerja, hentikan PHK, reformasi pajak buruh, dan lain-lain.
Koalisi Rakyat Batam, yang terdiri dari berbagai serikat, berhasil mengumpulkan sekitar 1.500 buruh untuk long march. “Kami bukan musuh pembangunan, tapi kami ingin adil,” kata koordinator aksi.
Pada Oktober, aksi lanjutan digelar di depan PT ASL lagi, menuntut penegakan K3 setelah insiden kecelakaan kerja yang menewaskan dua pekerja. Ratusan buruh memadati jalan, meneriakkan “Tangkap dan adili pemilik PT ASL!” sambil membawa spanduk tuntutan.
WaliKota Batam, Amsakar Ahmad, merespons dengan membuka dialog, menjanjikan pembahasan upah dan K3 secara musyawarah.
November membawa angin segar sekaligus kekecewaan. Serikat buruh mengusulkan kenaikan UMK 2026 sebesar 9,88 persen, berdasarkan survei kebutuhan hidup layak yang mereka lakukan sendiri.
Namun, penundaan penetapan UMK oleh pemerintah daerah memicu aksi damai lanjutan. Pada 10 November, buruh gelar demo menuntut cabut PHK dan kenaikan upah.
Di tengah itu, Marsinah, simbol perjuangan buruh perempuan, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional 2025, menginspirasi banyak pekerja perempuan di Batam untuk lebih vokal.
Namun, kritik terhadap pemerintah pusat muncul, terutama soal investor yang kabur karena demo buruh yang dianggap terlalu sering, seperti yang diungkapkan dalam diskusi online tentang mengapa Indonesia kalah saing dengan Vietnam dalam manufaktur.
Akhir tahun 2025 mencapai klimaks pada Desember, bertepatan dengan Hari Jadi Batam ke-196 pada 18 Desember. Ratusan buruh dari SPSI dan serikat lain menggelar aksi damai di depan Kantor DPRD dan Wali Kota Batam.

Mereka membawa lima tuntutan utama: tetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) Kota Batam 2026, hapus pajak THR dan pesangon, cabut outsourcing, tolak upah murah, dan reformasi pajak buruh.
Aksi ini warnai perayaan hari jadi, dengan buruh memadati Jalan Engku Puteri sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Wali Kota Amsakar dan Wakil Wali Kota Li Claudia menerima aspirasi, didampingi Kepala Dinas Tenaga Kerja, dengan janji menyampaikan ke pemerintah pusat.
Di sisi lain, rapat penetapan UMK 2026 di Graha Kepri masih berlangsung, dengan buruh menunggu ketentuan indeks alfa yang diperlebar hingga 0,9, kabar menggembirakan bagi mereka.
Selain demo, akhir tahun juga mencatat arus pendatang ke Batam yang tinggi, mencapai 98.915 jiwa sepanjang 2025, banyak di antaranya buruh migran mencari peluang di sektor industri.
Namun, ini menambah tekanan pada lapangan kerja yang kompetitif. Kinerja Kejaksaan Negeri Batam dan Bea Cukai juga mencatat prestasi, seperti penerimaan PNBP melebihi target, tapi bagi buruh, ini tak langsung berdampak pada kesejahteraan mereka.
2025 adalah tahun di mana buruh Batam menunjukkan solidaritas luar biasa. Dari aksi kecil hingga demo nasional, mereka telah membuktikan bahwa suara pekerja tak bisa diabaikan.
Tantangan seperti PHK, outsourcing, dan pajak tetap ada, tapi pencapaian seperti dialog dengan pemerintah dan usulan kenaikan upah memberikan harapan. Menuju 2026, buruh Batam berharap pemerintah lebih responsif: realisasi UMS, reformasi pajak, dan perlindungan kerja yang lebih baik. Seperti kata seorang buruh dalam aksi akhir tahun,
“Kami bukan mesin pabrik, kami manusia yang butuh keadilan.” Catatan ini bukan akhir, tapi babak baru perjuangan yang tak pernah pudar di pulau industri ini.