Pelalawan, KPonline – Minimnya Pemahaman Buruh Soal Status Kerja: Celah yang Sering Dimanfaatkan Perusahaan
Masih banyak buruh yang tidak memahami perbedaan mendasar antara status kerja BHL (Buruh Harian Lepas), PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Salah satu kasus umum yang terjadi adalah pekerja BHL yang secara praktik bekerja terus-menerus setiap hari, namun status kontraknya disebut PKWT, sementara sistem upahnya harian. Ini adalah bentuk pengaburan status kerja yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja dengan sistem harian lepas adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban praktik ini. Mereka tidak mendapatkan kepastian kerja, tidak dijamin hak-haknya seperti cuti, jaminan sosial, THR, bahkan sering kali tidak mendapatkan kontrak kerja tertulis. Padahal, baik PKWT maupun PKWTT seharusnya memiliki kejelasan isi dan perlindungan hukum sesuai dengan amanat undang-undang.
Kondisi ini umumnya terjadi ketika perusahaan memiliki beban produksi tinggi dan ingin fleksibilitas tanpa harus memberikan hak-hak sebagaimana mestinya kepada buruh. Hal ini kerap dijumpai di sektor-sektor seperti perkebunan, manufaktur, hingga konstruksi, terutama pada masa panen atau saat proyek meningkat. Status kerja buruh sering “diakali” agar perusahaan bisa menghindari kewajiban normatif.
Praktik semacam ini jamak ditemukan di daerah-daerah industri, pertanian, dan perkebunan, khususnya di luar Pulau Jawa. Di wilayah-wilayah tersebut, literasi hukum buruh cenderung masih rendah dan akses terhadap bantuan hukum ketenagakerjaan terbatas. Banyak buruh yang menerima saja kondisi ini karena tidak tahu ke mana harus bertanya atau takut kehilangan pekerjaan.
Ketidakpahaman buruh terhadap status hubungan kerja membuka peluang bagi perusahaan untuk mengaburkan hak-hak normatif buruh. Perbedaan antara BHL dan PKWT bukan hanya soal istilah, tapi berdampak langsung terhadap kepastian kerja, hak pesangon, dan perlindungan sosial lainnya. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta PP No. 35 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang menjelaskan secara rinci definisi dan syarat sah masing-masing jenis perjanjian kerja.
Jika buruh merasa status kerjanya tidak sesuai dengan kenyataan kerja, langkah awal yang bisa dilakukan adalah meminta penjelasan resmi dari HRD atau manajemen perusahaan. Jika tidak mendapat jawaban memadai, buruh dapat melapor ke serikat pekerja di perusahaannya. Jika tidak ada serikat, maka buruh bisa melapor ke Dinas Tenaga Kerja setempat, atau mencari bantuan dari lembaga bantuan hukum ketenagakerjaan seperti LBH, atau serikat buruh terdekat seperti FSPMI dan federasi lainnya.
Penting bagi setiap buruh untuk memahami status kerjanya secara hukum agar tidak menjadi korban manipulasi perusahaan. Ketidaktahuan bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga bisa berdampak jangka panjang terhadap masa depan dan kesejahteraan keluarganya. Edukasi dan penyadaran hukum harus terus digencarkan agar buruh semakin sadar akan hak dan statusnya, dan tidak segan untuk melawan ketidakadilan secara prosedural.