Buruh Garmen Banten di Tengah Tantangan Transisi Ekonomi Hijau

Buruh Garmen Banten di Tengah Tantangan Transisi Ekonomi Hijau

Serang, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Danish Trade Union Development Agency (DTDA) menggelar workshop bertajuk “Green Economy and Just Transition” di Serang, Banten, pada 8 Juni 2025. Forum ini menjadi penting karena Banten dikenal sebagai salah satu basis industri garmen dan tekstil terbesar di Indonesia, tempat ribuan buruh—sebagian besar perempuan—menggantungkan hidupnya.

Industri garmen Banten selama ini menjadi bagian penting dari rantai pasok global, dengan pasar utama di Eropa, Amerika, dan Asia. Namun, tren internasional mulai bergeser: pembeli besar semakin menuntut standar produksi ramah lingkungan, efisiensi energi, hingga jejak karbon yang rendah.

Jika perusahaan di Banten tidak mampu memenuhi standar baru ini, ada risiko pesanan dialihkan ke negara lain. Konsekuensinya, buruh lokal yang menggantungkan hidup pada upah minimum akan menanggung akibatnya, meski mereka sama sekali tidak ikut menentukan arah kebijakan perusahaan atau permintaan global.

Krisis iklim sudah nyata dirasakan di sektor garmen. Cuaca ekstrem, banjir, hingga panas berlebih berdampak pada proses produksi, kesehatan buruh, bahkan biaya operasional pabrik. Dalam kondisi ini, perusahaan sering menjadikan buruh sebagai pihak yang harus menanggung efisiensi, entah lewat lembur panjang, upah murah, atau sistem kerja kontrak yang semakin fleksibel.

Di tengah tuntutan global untuk bertransformasi menjadi lebih hijau, buruh garmen di Banten menghadapi risiko ganda: ancaman kehilangan pekerjaan akibat restrukturisasi industri, sekaligus beban ketidakpastian kerja yang sudah lama mereka alami.

Ciri khas industri garmen adalah mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Mereka menghadapi persoalan berlapis: upah rendah, jam kerja panjang, fasilitas kerja minim, hingga diskriminasi ketika hamil atau membutuhkan cuti. Dalam transisi menuju ekonomi hijau, kerentanan ini bisa semakin dalam bila tidak ada kebijakan khusus yang melindungi mereka.

Misalnya, jika perusahaan melakukan efisiensi energi dengan otomatisasi mesin, buruh perempuan yang kurang akses pada pelatihan teknologi berisiko tergeser. Tanpa intervensi negara, ribuan keluarga buruh di Serang dan sekitarnya bisa kehilangan sumber penghasilan.

Workshop ini menekankan bahwa transisi hijau tidak boleh hanya dimaknai sebagai perubahan teknologi atau strategi bisnis, tetapi juga harus dipandang sebagai agenda perlindungan sosial. Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan adanya program jaminan kehilangan pekerjaan, akses pelatihan ulang, serta insentif bagi perusahaan yang benar-benar menjaga hak buruh di tengah perubahan.

Perusahaan garmen di Banten juga dituntut lebih bertanggung jawab. Mereka tidak boleh sekadar mengejar sertifikasi “ramah lingkungan” demi memenuhi permintaan pasar global, tetapi mengorbankan buruh dengan upah murah atau PHK massal. Produksi hijau yang berkeadilan berarti menghitung aspek sosial, bukan hanya teknis.

Isu transisi energi di sektor garmen Banten bukan hanya soal memenuhi target emisi, melainkan juga soal keadilan iklim dan keadilan sosial. Buruh yang selama ini menopang industri ekspor tekstil harus mendapat kepastian bahwa masa depan mereka tetap terjaga.

“Transisi menuju ekonomi hijau tidak boleh mengorbankan buruh garmen yang sudah puluhan tahun membangun industri ini. Mereka adalah tulang punggung, bukan pihak yang harus dikorbankan,” demikian penegasan yang mengemuka dalam forum di Serang.

Dengan digelarnya workshop Green Economy and Just Transition di Banten, KSPI ingin menunjukkan bahwa buruh garmen harus ditempatkan sebagai subjek dalam agenda hijau. Banten tidak boleh menjadi contoh bagaimana transisi hijau menciptakan pengangguran baru. Sebaliknya, ia harus menjadi bukti bahwa ekonomi hijau bisa sejalan dengan keadilan sosial.

Karena itu, ke depan, arah kebijakan transisi di sektor garmen Banten harus memastikan: pesanan global tetap terjaga, perusahaan bertransformasi dengan bertanggung jawab, dan buruh—khususnya perempuan—tetap terlindungi. Hanya dengan begitu, transisi ekonomi hijau benar-benar menjadi jalan menuju masa depan yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi.