Bapak Upah Murah dan Buruh yang Selalu Disuruh Bersyukur

Bapak Upah Murah dan Buruh yang Selalu Disuruh Bersyukur

Dibalik negeri yang katanya kaya raya. Namun, rakyat pekerjanya tidak pernah benar-benar merasakan kesejahteraan nyata, hiduplah seorang tokoh legenda yang namanya tak pernah muncul di daftar pejabat negara mana pun. Ia tidak punya kantor, tidak punya jabatan resmi, bahkan tidak pernah ikut rapat kabinet. Namun setiap tahun, terutama menjelang penetapan upah minimum, semua orang membicarakannya dengan penuh hormat dan ketakutan. “Bapak Upah Murah”.

Konon, Bapak Upah Murah adalah sosok gaib yang kerjanya hanya satu, yaitu memastikan buruh tidak pernah naik kelas. Sudah bertahun-tahun ia bertugas menjaga agar para pekerja tetap hidup secukupnya. Sekucupnya napas, secukupnya makan, secukupnya supaya masih bisa berangkat kerja besok.

Dan seperti biasa, menjelang penetapan Upah Minimum tahun depan, namanya kembali naik daun. Para pengusaha menyebutnya sebagai penjaga stabilitas ekonomi. Para pejabat menyebutnya teman dialog sosial. Para buruh? Ah, bagi buruh, Bapak Upah Murah adalah seperti bayangan gelap yang selalu muncul tepat ketika mereka berharap sedikit keadilan.

Di ruang rapat penuh pendingin udara. Nun jauh di gedung yang megah, para pemangku kepentingan berkumpul. Teorinya hanya satu, menimbang nasib jutaan buruh. Praktiknya hanya satu menimbang bagaimana agar biaya produksi tidak naik lebih dari biaya servis mobil pejabat.

“Buruh harus memahami kondisi ekonomi global,” suatu baris kata yang selalu muncul disaat rakyat pekerja menuntut kenaikan upah.

Sementara itu, Bapak Upah Murah tersenyum tipis di pojokan ruangan. Ia memegang kalkulator tua yang hanya bisa menampilkan angka di bawah dua digit persen. Setiap kali ada usulan kenaikan upah 10%, ia menekan tombol clear sambil berdeham keras.

Di pabrik-pabrik, cerita lain beredar. Buruh yang berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah gelap merasa hidupnya seperti video yang diputar ulang setiap hari. Harga kebutuhan pokok naik tanpa survei akademis.

Namun upah? Tetap dijaga oleh Bapak Upah Murah agar tidak tersesat naik terlalu tinggi. Ia sangat protektif, sambil berkata untuk kebaikan bersama.

“Kalau upah naik terlalu tinggi, pabrik bisa tutup,” ujar bapak upah murah yang tak pernah tahu harga nasi padang di warteg pinggir pabrik.

Celakanya, sosok yang tak pernah terlihat itu semakin kuat setiap akhir tahun. Ia merayap diantara draft aturan, menyelinap di balik pasal-pasal fleksibilitas pasar tenaga kerja, menepuk pundak pejabat yang ingin terlihat modern dan ramah investasi. Ia tidak berteriak, tidak memaksa. Ia hanya berbisik; stabilitas.

Dan entah kenapa, setiap kali bisikan itu terdengar, nilai satu piring pecel lele terasa makin mahal dibanding nilai seorang pekerja.

Tetapi buruh tidak buta, dan tidak semuanya mau diam. Di luar pagar pabrik, di depan kantor pemerintah, dan di jalanan kota, suara-suara mulai mengeras. Spanduk-spanduk terangkat, megafon mulai bercerita. Mereka punya pesan sederhana, yakni kami bukan angka dalam tabel. Kami manusia yang ingin hidup layak.

Bapak Upah Murah mulai gelisah. Ia tidak pernah suka keramaian. Ia lebih nyaman bekerja dalam keheningan diantara laporan survei abal-abal yang disebut “kajian mendalam”.

Namun kali ini, buruh tidak sedang bercanda. Mereka mulai bertanya.
Siapa sebenarnya Bapak Upah Murah? Mengapa ia begitu kuat? Mengapa nasib pekerja harus selalu disesuaikan dengan seleranya?

Pertanyaan yang sangat berbahaya bagi seseorang yang selama ini hidup dari ketidaktahuan publik.

Pada akhirnya, kisah ini bukan tentang satu sosok imajiner. Ini tentang sistem yang selama puluhan tahun memposisikan buruh sebagai beban, bukan sebagai manusia. Tentang kebijakan yang selalu membisikkan sabar dan bersyukur, padahal harga-harga tidak pernah diajarkan kata itu. Tentang pemerintah yang seakan-akan takut jika pekerja bisa hidup lebih dari sekadar bertahan.

Dan ketika buruh mulai menyadari bahwa Bapak Upah Murah bukanlah takdir, melainkan konstruksi yang bisa dirobohkan, maka mungkin suatu hari. Entah kapan kita akan hidup di negeri yang tidak lagi bangga dengan upah murah.

Sampai hari itu tiba, cerita tentang Bapak Upah Murah tetap menjadi pengingat bahwa di republik ini, ada tokoh yang tidak pernah dipilih rakyat, tetapi selalu menentukan kadar kebahagiaan mereka. Dan itu, tentu saja, adalah ironi terbesar dari semuanya.