Bogor, KPonline – Undang-undang Omnibus Law mendapatkan penolakan dan perlawanan dimana-mana. Baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah. Penolakan atas Undang-undang Sapu Jagat tersebut mendapatkan penolakan dari kaum buruh, mahasiswa, petani, nelayan hingga pelajar dan kalangan masyarakat lainnya.
Seperti yang dilakukan oleh buruh-buruh Kota Bogor pada Rabu 21 Oktober 2020. Mereka menggelar aksi penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Law secara besar-besaran. Buruh beralasan karena kualitas dan kuantitas dari Undang-undang Omnibus Law dalam klaster ketenagakerjaan, sangat mendegradasi kualitas dan kuantitas UU 13/2003, yang masuk kedalam Undang-undang Omnibus Law tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Maya Isnaeni, salah seorang buruh Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Bogor kepada Media Perdjoeangan. “Sudah seharusnya, Omnibus Law dibatalkan saja. Karena kesejahteraan kaum buruh akan terancam. Oleh karena itu, saya bersama teman-teman yang lainnya, meminta kepada pemerintah agar membatalkan Undang-undang Omnibus Law tersebut,” ujar Maya disela-sela aksi penolakan Undang-undang Omnibus Law di halaman Kantor Walikota Kota Bogor.
Budi Mudrika, Ketua DPC SPN Kota Bogor pun memberikan pernyataan yang hampir senada. “Pada hari ini, kami SPN Kota Bogor beserta 5 serikat pekerja/serikat buruh yang ada di Kota Bogor, secara serempak menggelar aksi penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Law. Aksi ini tentu saja bertujuan agar pihak pemerintah membatalkan Undang-undang Cipta Kerja tersebut. Bisa melalui DPR RI sebagai legislator atau pun melalui Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden RI,” ucap Budi kepada Media Perdjoeangan.
“Kami juga menyatakan dengan tegas bahwa, kami meminta kepada pemerintah daerah, agar memberikan pernyataan penolakan terhadap Omnibus Law dengan tegas. Bukan hanya sekedar menyampaikan aspirasi kami sebagai kaum buruh,” imbuhnya.
Dia bersama buruh-buruh Kota Bogor yang lainnya, pun memiliki harapan yang sama yaitu, agar Undang-undang Omnibus Law segera dicabut atau dibatalkan kembali.



