Antara Buruh Pabrik, Judol dan Pinjol

Antara Buruh Pabrik, Judol dan Pinjol

Bekasi, KPonline – Obrolan ringan di sela istirahat kerja buruh pabrik sering kali membuka kenyataan pahit. Di balik seragam lusuh dan wajah penuh peluh, tersimpan cerita tentang kehidupan yang serba pas-pasan. Upah yang tak seberapa, persaingan berebut lembur, hingga beban cicilan kontrakan menjadi makanan sehari-hari. Namun, belakangan, keresahan buruh kian bertambah: jeratan judi online (Judol) dan pinjaman online (Pinjol) yang semakin brutal merambah kehidupan mereka.

“Kalau cuma mengandalkan gaji pokok, itu mah cuma cukup buat makan sama bayar kontrakan. Kalau mau ada lebih ya harus lembur. Tapi kalau lembur nggak ada, siap-siap kencengin ikat pinggang,” ujar seorang buruh, sebut saja namanya Yudi, saat berbincang dengan sesama rekan kerja.

Yudi, 20 tahun, seorang buruh kontrak, sebenarnya berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang tuanya memiliki rumah dan lahan di kampung. Namun, penghasilan bulanannya nyaris habis tersedot ke meja judi online. “Setiap gajian langsung habis. Bukan buat tabungan, bukan buat masa depan, tapi buat deposit judi online,” akunya lirih.

Kebiasaan itu membuat wajah Yudi kian kusut, penuh kegelisahan. Ia kehilangan semangat kerja, bahkan untuk sekadar membayangkan masa depan. “Buat kebutuhan pribadi aja susah, apalagi mikirin nikah atau masa depan. Semua habis di Judol,” tambahnya.

Lebih ironis lagi, Yudi tak hanya terjebak di lingkaran Judol, tapi juga Pinjol. Karena gajinya minus setiap bulan, ia meminjam uang dari aplikasi pinjaman online untuk menutup kekurangan, yang ujung-ujungnya kembali digunakan untuk berjudi.

Tak berhenti di Yudi, kisah serupa juga terjadi di keluarganya. Kakak kandungnya, seorang guru sekolah, ternyata juga terjerat jeratan yang sama. “Kakaknya malah sampai jual tanah warisan orang tua buat main judi online,” ungkap Yudi.

Cerita semakin suram ketika seorang rekan buruh lain, Panji, ikut angkat suara. Panji mengaku sudah mengenal Judol sejak duduk di bangku SMK. Kini, meski sudah bekerja, kebiasaan itu masih menempel. “Bedanya, gue masih bisa ngerem. Kalau kalah, ya sudah. Nggak pakai minjem Pinjol buat deposit,” kata Panji.

Namun, pengakuan Panji sekaligus membuka fakta lain: bahwa ancaman Judol sudah masuk ke kalangan pelajar, bahkan sebelum mereka terjun ke dunia kerja. Lebih mengejutkan lagi, gurunya pun ikut terjerat hal yang sama.

Fenomena ini seolah menegaskan bahwa Judol dan Pinjol tidak pandang bulu. Buruh, guru, bahkan pelajar, semua bisa terseret dalam arus yang sama. “Kalau gurunya aja main Judol, gimana muridnya?” celetuk seorang buruh lain.

Keresahan itu membuat banyak buruh bertanya-tanya tentang masa depan. Apalagi, di tengah kesulitan ekonomi, Judol dan Pinjol justru semakin gencar menjerat. “Ini bukan cuma soal iman atau moral pribadi. Faktanya, mereka memang menyerang kita secara brutal. Rekan kerja gue satu-satu tumbang gara-gara itu,” kata Zenith, seorang buruh yang menuliskan keresahan ini.

Meski begitu, masih ada harapan. Buruh-buruh yang sadar bahaya Judol dan Pinjol berusaha saling mengingatkan. Mereka berharap teman-teman yang sudah terjerat bisa segera keluar dari lingkaran itu. “Kita ini hidup sudah susah. Jangan sampai tambah hancur karena Judi online dan Pinjol. Semoga negeri ini bisa lebih baik, buruh bisa hidup layak tanpa harus jadi korban,” tutup Zenith.