Yang Mereka Cari Hanya Sepiring Nasi

Yang Mereka Cari Hanya Sepiring Nasi

Medan,KPonline, – Perlahan, rumah reot itu digenangi air. Dalam hitungan detik, arus deras menyeretnya hingga tak bersisa. Padahal di gubuk sederhana itulah mereka berteduh dari hujan dan terik matahari, tempat mereka bercengkerama dengan anak-anak, tempat melepas lelah setelah seharian bekerja hanya untuk mencari sepiring nasi.

Saat air akhirnya surut, yang tersisa hanyalah lantai semen. Seluruh isi rumah lenyap, tersapu tanpa ampun oleh banjir. Bencana itu terlalu kejam bagi mereka. Dan sesungguhnya, ini tidak perlu terjadi andai manusia-manusia serakah,pejabat negeri, aparat penegak hukum, alat negara, dan para pengusaha rakus masih memiliki hati nurani.

Alam tidak pernah marah tanpa alasan. Ia meradang oleh ketamakan manusia yang menumpuk kekayaan dengan merusak bumi. Hutan digunduli, tambang ilegal di bukit-bukit hijau makin meluas di bawah perlindungan aparat, tanpa sedikit pun memikirkan risiko dan dampak yang akan tiba pada rakyat kecil.

Ribuan warga miskin yang hidup hanya untuk mencari sepiring nasi kehilangan rumah dan harta benda. Ratusan nyawa hilang terseret arus. Semua korban adalah rakyat miskin yang tak berdosa.

Listrik padam total, jaringan komunikasi terputus berhari-hari. Tujuannya jelas, agar kondisi bencana tidak mudah diekspos ke media dan diketahui dunia internasional. Bantuan logistik datang sangat lambat, sementara alasan yang dilontarkan para pejabat hanyalah, “tidak ada alat transportasi yang bisa menembus lokasi bencana.”

Padahal kenyataannya, di balik tragedi itu para manusia-manusia serakah justru bersuka cita. Bagi mereka, bencana seperti “mendapatkan durian runtuh” ada judul baru yang akan dijadikan untuk mengkorupsi uang negara dan menumpuk kekayaan.

Judul anggaran dibuat sederhana: biaya penanggulangan bencana, demi kepentingan rakyat. Mulai dari biaya logistik, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur yang rusak akibat banjir. Dengan alasan force majeure, anggaran menjadi tanpa batas, tanpa audit, asalkan semua mau “berbagi”. Tim auditor pun tak perlu hadir.

Semua dilakukan atas nama rakyat, padahal rakyat miskin yang menjadi korban hanya mendapat bantuan ala kadarnya sangat jauh berbeda dari angka yang tercantum dalam laporan penggunaan anggaran.

Bencana yang sama terjadi setiap tahun. Namun tidak pernah ada evaluasi yang sungguh-sungguh. Seolah-olah bencana memang dipelihara oleh para manusia serakah itu, dengan harapan skalanya membesar hingga menjadi bencana nasional. Semakin besar judulnya, semakin besar pula uang yang bisa dikorupsi. Dan dengan entengnya mereka berkata, “Bencana terjadi karena cuaca ekstrem.”

Padahal mereka bukan orang bodoh. Mereka pintar, berpendidikan, dan tahu persis bahwa kerusakan lingkungan akan mengganggu keseimbangan alam. Dampaknya bukan hanya hilangnya habitat satwa, tetapi juga hilangnya ribuan nyawa, meningkatnya jumlah rakyat miskin, serta terancamnya masa depan generasi bangsa.

Banjir, longsor, dan bencana lainnya adalah peringatan keras bahwa keseimbangan alam telah terganggu. Menjaga kelestarian bukan hanya tugas satu pihak, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh umat manusia. Hanya dengan kesadaran dan tindakan bersama, kita dapat mencegah bencana berulang dan memastikan keberlangsungan hidup generasi bangsa.

Pertanyaan mendasar pun muncul: siapa yang bertanggung jawab menjaga kelestarian alam?

Jawabannya sederhana: kita semua.Ketika kerusakan terjadi akibat kelalaian dan kejahatan kekuasaan, rakyat punya kewajiban untuk bersatu dan memaksa pemerintah bertindak tegas. Bila pemerintah tidak mau bergerak, rakyat berhak menduduki kantor-kantor pemerintahan,karena bangunan itu milik rakyat, dibangun dari uang rakyat, dan seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, bukan sebagai tempat transaksi merampok uang negara.

Bencana banjir dan longsor membuat rakyat miskin semakin terpuruk, sementara pemerintah menganggapnya biasa saja. Inilah ironi paling menyakitkan di negeri yang katanya kaya raya, namun yang miskin selalu menjadi korban. (Anto Bangun)