Jakarta, KPonline – Pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan bahwa Presiden Prabowo Subianto jangan mau “disetir oleh segelintir organisasi buruh” dalam penentuan upah minimum adalah bentuk arogansi politik sekaligus kesalahan konseptual yang serius. Di balik nada tegasnya, terselip pandangan yang menempatkan buruh bukan bagian penting dalam pembangunan.
“Kenapa kita harus diatur oleh organisasi buruh?” tanya Luhut. “Kita kan mikirkan dia (buruh). Kalau dia hanya mikirkan dirinya, tidak mikirkan investor, ya susah.”
Kalimat itu terdengar seperti kepedulian, tapi sesungguhnya mencerminkan cara pandang feodal terhadap buruh—seolah negara lebih tahu apa yang baik untuk rakyat, tanpa perlu mendengarkan suara mereka sendiri. Padahal, buruh tidak sedang meminta privilese, mereka hanya menuntut agar negara menjalankan mandat konstitusi: menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Serikat pekerja tidak “menyetir” pemerintah, mereka menjalankan fungsi konstitusional sebagai bagian dari sistem hubungan industrial yang tripartit: pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dalam sistem ini, buruh bukan penonton, melainkan pihak yang sah untuk didengar suaranya.
Regulasi di Indonesia menyebut, “Setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Dan baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi memperjelas makna dari frasa itu dalam putusannya terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai sebagai mencakup “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.”
Dalam pertimbangan hukum lengkapnya, Mahkamah menegaskan bahwa hilangnya penjelasan mengenai frasa “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak” dalam UU Cipta Kerja adalah kekeliruan yang harus dikoreksi. MK menilai penjelasan tersebut justru penting karena memperjelas makna “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Mahkamah menegaskan bahwa sistem pengupahan harus mampu mengejawantahkan kesejahteraan tenaga kerja melalui upah yang memungkinkan pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Dengan demikian, tuntutan serikat pekerja tidak bersandar pada emosi, melainkan pada tafsir hukum tertinggi di negeri ini. Upah minimum bukan hadiah politik, tapi hak konstitusional yang melekat pada setiap pekerja.
Kalau mau jujur, siapa yang selama ini “menyetir” arah kebijakan ekonomi nasional? Bukan buruh, melainkan kepentingan modal besar. Dari lahirnya Omnibus Law yang melonggarkan pemutusan hubungan kerja, hingga formula baru upah minimum yang menyingkirkan unsur Kebutuhan Hidup Layak (KHL), semua disusun dengan dalih “kemudahan berusaha.”
Sementara ruang partisipasi buruh dalam Dewan Pengupahan makin menyempit. Ketika serikat pekerja menyuarakan realitas harga beras, ongkos rumah, dan biaya pendidikan, mereka dicap menghambat investasi. Padahal investasi yang sehat tidak akan tumbuh di atas ketimpangan.
Menuduh buruh “hanya memikirkan dirinya sendiri” adalah cara mudah untuk menutupi kegagalan negara dalam menciptakan kebijakan ekonomi yang berkeadilan. Tak ada buruh yang menolak investasi. Yang ditolak adalah investasi yang membuat pekerja miskin di negeri sendiri.
Keseimbangan yang Dibelokkan
Luhut bicara tentang “ekuilibrium”—keseimbangan antara buruh dan investor. Tetapi bagaimana mungkin bicara keseimbangan jika satu sisinya bekerja delapan jam sehari dan masih tak sanggup menabung, sementara sisi lain mengantongi dividen miliaran rupiah?
Keseimbangan sejati hanya mungkin jika negara berdiri pada sisi yang lemah, bukan di sisi modal. Upah yang layak bukan ancaman ekonomi, tetapi fondasi produktivitas. Daya beli buruh yang kuat adalah bahan bakar pertumbuhan, bukan penghambatnya.
Pemerintah sering bersembunyi di balik angka-angka: pertumbuhan 8 persen, inflasi 3 persen, indeks upah sekian. Tapi data tak pernah netral jika dilepaskan dari kenyataan sosial. Statistik tidak bisa menggantikan nasi di meja makan buruh.
Serikat pekerja hadir bukan untuk “menyetir”, tetapi untuk mengingatkan: jangan biarkan ekonomi dijalankan seperti mesin tanpa hati. Negara tidak boleh kehilangan keberpihakannya pada manusia di balik angka-angka itu.
Ketika Luhut meminta Presiden agar tak “disetir buruh”, ia seolah lupa bahwa negara ini berdiri di atas keringat jutaan buruh. Yang sesungguhnya menyetir arah kebijakan bukan serikat pekerja, melainkan keserakahan—yang menjadikan pertumbuhan sebagai dalih untuk menindas kesejahteraan.
Tugas serikat pekerja adalah memastikan kemudi itu kembali ke arah yang benar: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena republik ini tidak dibangun oleh investor, melainkan oleh rakyat yang bekerja.