Wisata Kelas Pekerja: Aksi Unjuk Rasa

Wisata Kelas Pekerja: Aksi Unjuk Rasa

Bagi sebagian orang, liburan berarti pergi ke pantai, gunung, atau mal. Tapi bagi kelas pekerja, wisata sejati terkadang berarti turun ke jalan, berteriak lantang, dan mengibarkan bendera serikat. Inilah “wisata kelas pekerja” sebuah perjalanan yang tak sekadar melepas penat, tapi menyalakan kembali nyala kesadaran.

Ada yang sinis menyebut aksi buruh sebagai “keributan”. Tapi bagi mereka yang pernah ikut, itu adalah perjalanan wisata spiritual. Disana mereka belajar arti persaudaraan, arti keberanian, arti kesetiaan pada cita-cita.

Tidak ada tiket masuk, tidak ada hotel mewah. Hanya jalanan, keringat, dan spanduk tuntutan. Namun disitulah letak maknanya, ketika kelelahan menjadi bagian dari pengorbanan, bukan sekadar harga paket wisata.

Buruh tahu, tanpa tekanan, tidak akan ada perubahan. Dan jika suara mereka tak didengar, maka suara itu akan bergema di jalan-jalan ibu kota. Disitulah “destinasi” mereka. Di depan gedung DPR, di depan kantor gubernur, di depan istana, di depan kantor bupati, tempat dimana keadilan seringkali lupa alamatnya.

Mereka mungkin tidak menikmati pantai Kuta, Candi Borobudur atau sejuknya Puncak, tapi mereka menikmati sesuatu yang lebih dalam, yakni rasa memiliki perjuangan. Di jalan, mereka bukan lagi individu, tapi bagian dari sejarah panjang perlawanan kelas pekerja.

Di sisi lain, ironi mencolok selalu tampak. Ketika buruh berbaris menuntut kenaikan upah, pusat perbelanjaan di seberang jalan penuh dengan promo “diskon akhir tahun”. Ketika buruh berkeringat di aspal, segelintir elit sedang berswafoto di restoran bintang lima.

Inilah potret ketimpangan yang sesungguhnya. Di satu sisi, mereka yang menciptakan nilai kerja; di sisi lain, mereka yang menikmati hasilnya. Aksi unjuk rasa adalah cara kelas pekerja menegaskan bahwa mereka ada dan bahwa tanpa mereka, roda ekonomi berhenti berputar.

Aksi unjuk rasa adalah wisata menuju kesadaran. Dari pabrik ke jalan, dari diam menjadi bicara, dari takut menjadi berani. Karena bagi kelas pekerja, kesadaran adalah bentuk tertinggi dari liburan: saat pikiran mereka bebas dari rasa tunduk, dan hati mereka dipenuhi semangat melawan.

Ketika aksi selesai, ketika spanduk dilipat dan bus kembali melaju ke arah pabrik, wajah-wajah lelah itu tersenyum. Mereka tahu, perjuangan belum selesai. Tapi mereka juga tahu, hari itu mereka telah menulis sejarah.

Tak ada yang lebih indah bagi kelas pekerja selain tahu bahwa dirinya tidak sendiri. Bahwa dibalik peluh dan teriakan, ada cinta yang tak bisa dibeli. Cinta terhadap sesama buruh, terhadap keadilan, terhadap martabat manusia.

Jadi, jika ada yang bertanya ke mana buruh berwisata, jawabannya cukup sederhana, yakni ke jalanan. Karena di sanalah mereka benar-benar hidup.