Medan,KPonline, – Wajah mereka tersenyum di depan rakyat, seolah peduli, seolah setia. Kata-katanya manis, janji-janji terdengar indah. Tetapi di balik senyum itu tersimpan racun. Mereka menusuk dari belakang, mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan. Rakyat tak pernah sadar bahwa sebagian dari mereka yang mengaku “wakil rakyat” sejatinya adalah kaum munafik.
Mereka berpura-pura baik saat membutuhkan dukungan, tetapi diam-diam menanam keburukan. Mereka tahu kebenaran, namun disembunyikan demi kepentingan diri, partai, dan kelompoknya. Mereka bicara lantang soal keadilan, tetapi bungkam ketika ketidakadilan menguntungkan dirinya. Mereka mengaku memperjuangkan kebenaran, namun menjualnya kepada siapa saja yang bisa membayar lebih.
Mereka tidak takut kepada siapa pun—bahkan kepada Tuhan.
Saat seorang manusia kehilangan rasa takut kepada Tuhannya, hilanglah seluruh benteng moral yang seharusnya mengikat dirinya. Mereka berani melanggar perintah Tuhan tanpa rasa bersalah. Maka mengkhianati rakyat hanyalah perkara kecil bagi mereka. Nurani mereka mati, padahal seharusnya nurani itulah rem terakhir dari segala bentuk kejahatan.
Hari ini, rakyat melihat wajah-wajah tersenyum di depan kamera, seolah pahlawan, seolah pemimpin yang peduli. Namun di balik pintu rapat, mereka menandatangani kebijakan yang mematikan harapan rakyat kecil. Mereka memeras keringat buruh, merampas tanah petani, dan menjual kekayaan negeri kepada kepentingan asing. Semua dilakukan tanpa gentar, tanpa rasa bersalah—seakan dunia ini hanya milik mereka.
Apakah mereka takut kepada hukum?
Tidak. Karena hukum bisa mereka beli dengan uang.
Apakah mereka takut kepada rakyat?
Tidak. Karena rakyat mereka pecah-belah agar lemah dan tak bersatu.
Apakah mereka beragama?
Agama bagi mereka hanya sebatas identitas di KTP. Simbol untuk tampil di tempat ibadah, sekadar alat membujuk rayu dan menebar janji palsu.
Lantas, siapa yang mereka takuti? Tuhan?
Juga tidak. Sebab jika mereka takut kepada Tuhan, niscaya mereka tidak akan korupsi, tidak akan menindas, tidak akan mengkhianati amanah rakyat.
Inilah puncak kesombongan manusia: saat kekuasaan membuat mereka buta, saat harta membuat mereka tuli, dan jabatan membuat mereka merasa setara dengan Tuhan.
Rakyat salah memilih wakilnya. Saat datang ke TPS dengan harapan, rakyat percaya memilih pejuang yang akan memperbaiki nasib bangsa. Nyatanya, yang dipilih justru iblis berwujud manusia, iblis kekuasaan yang rakus, yang tak mengenal belas kasihan.
Suara rakyat yang seharusnya menjadi penolong, justru berubah menjadi senjata untuk menyiksa rakyat sendiri. (Anto Bangun)