Ketapang, KPonline — Sidang lanjutan penentuan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan Kabupaten Ketapang memasuki hari kedua pada Selasa (23/12/2025). Dalam sidang tersebut, Dewan Pengupahan Kabupaten (DPK) Ketapang memutuskan untuk terlebih dahulu membahas sektor perkebunan, sebelum dilanjutkan ke sektor pertambangan pada sesi berikutnya.
Sidang penentuan UMSK Perkebunan Kelapa Sawit yang mengacu pada PP Nomor 49 Tahun 2025 berlangsung alot dan diwarnai perdebatan tajam. Unsur Apindo mengusulkan kenaikan upah dengan menggunakan alfa 0,5 sebagai angka dasar dalam perhitungan. Usulan tersebut berdampak pada nilai UMSK Perkebunan yang berada di bawah UMK Kabupaten Ketapang Tahun 2026, dengan kenaikan hanya sekitar Rp9.000,-
Sementara itu, unsur Serikat Pekerja/Buruh dengan tegas mengusulkan penggunaan alfa 0,9, yaitu angka tertinggi yang telah disepakati sebagai opsi dalam rumusan pengupahan. Namun dalam praktik pembahasan, pihak serikat pekerja menolak penggunaan UMK Tahun 2025 sebagai dasar acuan, dan lebih memilih menggunakan penyesuaian UMK Tahun 2026 atau UMSK Perkebunan Tahun 2025 sebagai pembanding.
Karena tidak tercapai kesepakatan, penentuan UMSK Perkebunan akhirnya dilakukan melalui mekanisme voting antara usulan Apindo dan Serikat Pekerja. Dalam proses pemungutan suara tersebut, unsur serikat pekerja harus berjuang sendiri tanpa dukungan dari unsur pemerintah. Akibatnya, usulan serikat hanya memperoleh 4 suara, kalah dari usulan Apindo.
Hasil voting tersebut menetapkan UMSK Perkebunan Kelapa Sawit Kabupaten Ketapang Tahun 2026 sebesar Rp3.570.105. Nilai tersebut sekaligus menjadi acuan bagi UMSK sektor Pertambangan, yang untuk pertama kalinya disamakan dan akan mulai diberlakukan pada tahun 2026 mendatang.
Keputusan ini memicu kekecewaan dari kalangan buruh yang menilai pemerintah daerah tidak menunjukkan keberpihakan terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja, dan justru lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha.



