UU TNI : Perluasan Wewenang atau Ancaman Demokrasi

UU TNI : Perluasan Wewenang atau Ancaman Demokrasi

Setelah memimpin Rapat Paripurna DPR, Puan Maharani menegaskan bahwa revisi UU TNI telah melalui proses legislasi yang sah dengan partisipasi masyarakat dan keterbukaan. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menambahkan bahwa UU ini tidak dapat disamakan dengan Dwifungsi ABRI era Orde Baru.

Menurutnya, revisi ini hanya mengizinkan prajurit aktif menduduki posisi yang relevan dengan tugas TNI, seperti di Badan Keamanan Laut atau Kejaksaan Agung, tanpa memberikan hak politik seperti masa lalu. Ia juga menekankan bahwa TNI telah lama berkontribusi di luar sektor pertahanan, terutama dalam penanggulangan pandemi dan bencana alam.

Namun, apakah penjelasan ini cukup untuk memastikan bahwa UU ini benar-benar tidak bermasalah? Kritik utama terhadap revisi ini bukan hanya pada substansinya, tetapi juga pada proses pembuatannya. Bertentangan dengan klaim Puan Maharani, pembahasan UU ini dilakukan dengan cepat, tanpa urgensi yang jelas, dan minim transparansi. Naskah akademik serta draf final tidak disebarluaskan sejak awal dengan alasan untuk menghindari perdebatan. Padahal, dalam sistem demokrasi, perdebatan adalah bagian esensial dalam penyusunan kebijakan. Jika memang tidak ada yang perlu disembunyikan, mengapa tidak dilakukan secara terbuka?

Kecepatan pembahasan UU ini juga menimbulkan pertanyaan besar:

1. Apa urgensinya?

2. Apakah ada ancaman baru yang begitu mendesak sehingga perluasan peran TNI harus segera diakomodasi dalam regulasi?

Jika tidak ada situasi darurat yang menuntut revisi ini segera disahkan, maka tergesa-gesanya proses ini menjadi semakin mencurigakan.

Secara substansi, memang harus diakui bahwa UU ini tidak secara eksplisit mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru. Namun, perluasan fungsi bagi prajurit aktif tetap berisiko bagi supremasi sipil, terutama dalam sektor pertahanan siber. Habiburokhman berpendapat bahwa keterlibatan TNI dalam dunia siber adalah optimalisasi sumber daya militer. Namun, konteks Indonesia membuatnya lebih kompleks. Kita telah melihat bagaimana polisi siber lebih sering digunakan untuk membungkam kritik dibandingkan menangani kejahatan siber yang sesungguhnya. Jika lembaga sipil seperti kepolisian saja sudah bermasalah dalam mengelola kebebasan berpendapat di internet, bagaimana kita bisa yakin bahwa TNI, dengan struktur komando yang lebih tertutup, tidak akan melakukan hal yang sama?

Keterlibatan militer dalam ranah sipil tidak selalu buruk, tetapi harus memiliki mekanisme pengawasan yang ketat. Saat ini, tidak ada jaminan bahwa prajurit aktif yang ditempatkan dalam jabatan sipil akan tunduk pada pengadilan sipil. Jika seorang tentara yang bertugas dalam penanggulangan bencana melakukan korupsi, apakah ia akan diadili di pengadilan sipil, atau justru “diamankan” di pengadilan militer yang terkenal lebih permisif terhadap anggotanya?

Dalam perbandingan internasional, beberapa negara memang mengizinkan militer memiliki peran dalam keamanan siber dan operasi penyelamatan warga negara di luar negeri. Amerika Serikat, misalnya, memiliki United States Cyber Command (USCYBERCOM) yang bertugas melindungi kepentingan nasional di dunia digital. Namun, USCYBERCOM beroperasi di bawah Departemen Pertahanan yang dikendalikan oleh sipil dengan batasan yang jelas agar tidak merusak prinsip demokrasi.

Di Jerman, supremasi sipil atas militer tetap menjadi prinsip utama. Bundeswehr (angkatan bersenjata Jerman) secara eksplisit berada di bawah pengawasan Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh pejabat sipil. Parlemen Jerman (Bundestag) memiliki kontrol penuh atas keputusan operasional militer, termasuk penggunaan Komando Siber dan Informasi (CIR). Setiap operasi ofensif di dunia maya tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, Jerman memastikan bahwa tindakan militer tetap selaras dengan prinsip demokrasi dan hukum internasional.

Jepang menerapkan kontrol yang bahkan lebih ketat. Dengan adanya Pasal 9 Konstitusi Jepang, angkatan bersenjata Jepang tidak diizinkan melakukan operasi ofensif. Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) memang memiliki unit siber, tetapi kebijakan mereka tetap berada di bawah pengawasan penuh Kementerian Pertahanan dan Parlemen Jepang. Jepang juga bergantung pada aliansi keamanannya dengan Amerika Serikat, yang membuat setiap ekspansi dalam peran militer harus melalui proses legislasi yang transparan dan mendapat persetujuan dari otoritas sipil.

Dari perbandingan ini, terlihat jelas bahwa bukan sekadar soal perluasan peran TNI, tetapi lebih kepada bagaimana mekanisme akuntabilitasnya. Jika keterlibatan TNI dalam sektor sipil tidak memiliki batasan yang jelas, maka risiko penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar.

Jika pemerintah yakin bahwa UU TNI adalah bagian dari reformasi, maka prosesnya harus lebih transparan. Naskah akademik dan draf final harus dibuka sejak awal agar publik dapat menilai secara objektif. Keterlibatan lebih banyak pakar dan masyarakat sipil dalam pembahasannya harus menjadi prioritas, bukan hanya keterlibatan DPR dan institusi militer.

Mekanisme pengawasan yang jelas juga harus diterapkan, seperti memastikan prajurit aktif yang bertugas di sektor sipil tunduk pada pengadilan sipil, bukan militer. Selain itu, batasan eksplisit mengenai peran TNI dalam dunia siber harus diperjelas agar tidak disalahgunakan untuk mengontrol kebebasan berekspresi.

Indonesia telah berjuang melawan militerisme politik selama lebih dari 30 tahun. Reformasi TNI tetap diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan prinsip transparansi dan demokrasi yang kuat. Supremasi sipil bukan hanya tentang apakah TNI kembali masuk ke DPR atau tidak, tetapi bagaimana setiap perubahan dalam struktur militer harus melewati mekanisme demokratis yang ketat. Jangan biarkan kita kehilangan kendali atas militer hanya karena kelengahan kita sendiri.

___

Ditulis oleh Anindya Shabrina, kader perempuan Partai Buruh yang berprofesi sebagai Pengacara. Ia juga menjadi pengurus Executive Comittee Pusat Partai Buruh sebagai Deputi Kesetaraan Gender.

Sumber Bacaan:

1. Pernyataan Puan Maharani: Tempo – Puan Maharani Buka Suara soal Pengesahan UU TNI
https://www.tempo.co/politik/puan-maharani-buka-suara-soal-pengesahan-uu-tni-1222335

2. Pernyataan Habiburokhman: Detik – UU TNI Tidak Kembalikan Dwifungsi ABRI
https://news.detik.com/kolom/d-7837528/uu-tni-tidak-kembalikan-dwifungsi-abri/amp

3. Polisi Melakukan Kejahatan Siber – Sosok Kompol Chrisman Panjaitan Pakai KTP Tersangka Buat Pinjol
https://tirto.id/sosok-kompol-chrisman-panjaitan-pakai-ktp-tersangka-buat-pinjol-g9md

4. Keterlibatan Amerika dalam urusan siber: USCYBERCOM – United States Cyber Command
https://www.cybercom.mil/

5. Pendekatan China terhadap dunia siber: KuppingerCole – Understanding China’s Approach to Cyberspace
https://www.kuppingercole.com/research/an801040/understanding-china-s-approach-to-cyberspace-strategic-and-security-considerations-for-europe

6. Strategi pertahanan siber Jepang: Vanguard Think Tank – Recent Developments in Japan’s Cyber Defence Strategy
https://vanguardthinktank.org/recent-developments-in-japans-cyber-defence-strategy

7. Keamanan informasi dalam militer Jerman: Bundeswehr – Information Security for the German Military
https://www.bundeswehr.de/en/information-security-for-the-german-military-4506000