UU Perampasan Aset di Persimpangan Jalan

UU Perampasan Aset di Persimpangan Jalan

Medan,KPonline, – Aksi unjuk rasa rakyat dan mahasiswa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) menuntut disahkannya Undang-Undang Perampasan Aset (UU.PA) sepertinya akan kembali berlangsung.Hal ini disebabkan sebagian anggota parlemen tidak menghendaki disahkannya UU.PA tersebut.

Sesuatu yang sangat tidak logis Rencana Undang-Undang Perampasan Aset (RUU.PA) yang dirancang pada Tahun 2008 hingga sekarang ini kurang lebih 17 Tahun atau mendekati dua dasa warsa tidak kunjung selesai pembahasannya.Sangat berbanding terbalik dengan Rencana Undang-Undang Cipta Kerja (RUU-CK) yang dirancang pada Tahun 2020 dan disahkan pada Tahun 2021 oleh DPR, hanya dalam kurun waktu satu tahun selesai dibahas dan disahkan.

Meski Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya bernomor :

91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat).Namun pada Tahun 2023 Presiden Jokowi kemudian menerbitkan, Undang- Undang Nomor:6 Tahun 2003, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor:2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ketika regulasi tersebut lebih berpihak dan menguntungkan kepada penguasa dan pengusaha secara cepat dan kilat DPR mengesahkannya, sebaliknya ketika regulasi tersebut menguntungkan kepada rakyat dan berdampak tidak baik kepada penguasa dan pengusaha, ada keengganan bagi DPR untuk mengesahkannya.

Undang-Undang Perampasan Aset yang dirancang dan disusun pada tahun 2008 memiliki maksud dan tujuan untuk mewujudkan penyelenggaran negara yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagai mana amanat dari Undang-Undang Nomor;28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), memperluas wewenang negara menyita harta para koruptor, dan yang lebih utama untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Undang-Undang Perampasan Aset yang sudah lama menjadi wacana, kini seolah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, rakyat menunggu regulasi ini sebagai senjata ampuh untuk menjerat harta hasil korupsi, kejahatan ekonomi, dan tindak pidana besar yang selama ini sulit disentuh hukum. Di sisi lain, kepentingan politik, oligarki, dan kepentingan ekonomi segelintir elite justru menjadi tembok tebal yang menghambat kelahirannya.

UU ini merupakan sebuah regulasi yang efektif untuk menimbulkan efek jera kepada para koruptor, dan sebagai dasar bagi negara untuk mengembalikan kekayaan yang dirampas oleh koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi lainnya, tanpa harus terikat dengan rumitnya pembuktian pidana yang kerap macet di meja pengadilan.

Tetapi, justru di titik ini, jalan UU Perampasan Aset sering tersumbat. Elite politik khawatir senjata ini bisa berbalik arah, mengancam kenyamanan dan kepentingan mereka sendiri.

Persimpangan itu nyata, apakah UU ini akan benar-benar menjadi instrumen keadilan, atau sekadar formalitas politik yang dilunakkan demi kompromi. Jika negara serius, UU ini bisa menjadi tonggak baru dalam pemberantasan korupsi, membuktikan bahwa hukum tidak hanya tajam ke bawah tumpul keatas, Tetapi jika jalan kompromi yang dipilih, UU ini hanya akan menjadi papan nama, tanpa nyali, tanpa taring.

Rakyat tentu menaruh harapan besar. Sebab, selama ini hasil korupsi hanya segelintir yang kembali ke kas negara, sementara rakyat menanggung beban kerugian dalam bentuk layanan publik yang buruk, infrastruktur yang rusak, dan kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.

Di persimpangan jalan inilah nasib UU Perampasan Aset dipertaruhkan. Apakah ia akan benar-benar menjadi jalan menuju keadilan dan keberanian negara menghadapi kejahatan kerah putih, atau justru memilih jalan buntu, dikerdilkan oleh kompromi elite yang tidak takut pada bayangan dosa mereka sendiri.

Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh seluruh anggota DPR, “haruskah rakyat negeri ini kembali dipaksa turun ke jalan, berhadap-hadapan dengan aparat, berdarah-darah, hingga korban berjatuhan,baru kemudian UU PA itu disahkan?

Apakah wakil rakyat hanya bisa mendengar ketika suara rakyat berubah menjadi teriakan di jalanan, ketika tubuh-tubuh tumbang di aspal, ketika amarah tak lagi bisa dibendung?

Ataukah mereka sebenarnya memang hanya menunggu rakyat dikorbankan, agar legitimasi sebuah undang-undang lahir dari tragedi?

Rakyat menunggu jawaban yang Pasti, dari para elit yang mengaku sebagai wakil rakyat. (Anto Bangun)