Purwakarta, KPonline – Desakan agar pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum tahun 2026 di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen kini terus mengemuka dikalangan kelas pekerja. Bagi kalangan pekerja, angka itu bukan sekadar tuntutan emosional, tetapi hasil perhitungan realistis atas kondisi ekonomi, serta penurunan daya beli yang terus terjadi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi nasional per September 2025 berada di angka 3,4 persen, sementara pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 5,2 persen. Kombinasi dua indikator itu, menurut ekonom dan serikat pekerja, menunjukkan ruang fiskal dan produktivitas nasional masih cukup kuat untuk memberikan kenaikan upah yang lebih layak.
Sejak 2023 hingga 2025, kenaikan harga BBM serta barang kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, telur, dan transportasi telah mencapai rata-rata 13–15 persen secara kumulatif. Sementara kenaikan upah minimum hanya berkisar 3–6 persen per tahun, menyebabkan jarak antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja semakin lebar.
Sehingga, banyak keluarga pekerja kini terpaksa melakukan penyesuaian drastis dengan mengganti menu makan, menunda pembelian pakaian sekolah anak, hingga mengurangi biaya transportasi.
Kondisi ini diperparah oleh kenaikan harga sewa rumah kontrakan yang rata-rata meningkat Rp100.000–200.000 per tahun, serta biaya pendidikan yang terus naik tanpa ada subsidi memadai.
Karena itu, serikat pekerja menegaskan, usulan kenaikan 8,5-10,5 persen bukan tuntutan asal-asalan. Berdasarkan survei internal serikat pekerja di 10 kawasan industri besar, kebutuhan hidup layak (KHL) buruh tahun 2025 telah menembus Rp5,8-7 juta per bulan untuk wilayah Jabodetabek, sementara upah minimum masih di kisaran Rp4,9 juta.
Artinya, ada defisit sekitar Rp900.000 hingga 1.900.000 per bulan yang harus ditambal dengan lembur atau pekerjaan tambahan. Situasi yang secara sosial tidak sehat dan ekonomi tidak berkelanjutan.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, sektor otomotif, makanan-minuman, dan kimia mencatat laba bersih rata-rata naik 9,2 persen sepanjang 2024–2025.
“Artinya ruang untuk berbagi keuntungan dengan pekerja ada. Jangan semua efisiensi dibebankan pada buruh”
Jika pengusaha ingin menumbuhkan loyalitas dan produktivitas, maka penghargaan terhadap kesejahteraan pekerja harus menjadi prioritas, bukan beban.
Kini bola salju ada di tangan pemerintah. Apakah Kementerian Ketenagakerjaan akan segera menerbitkan formula kenaikan upah minimum 2026 sesuai dengan putusan MK nomor 168, atau rumus matematis yang tidak bisa menakar kesulitan hidup manusia?
Kenaikan upah tahun 2026 dianggap sebagai momentum penting untuk mengoreksi arah kebijakan perburuhan pasca-Omnibus Law. Selama dua tahun terakhir sebelum 2025, kebijakan pengupahan dianggap tidak ada kenaikan dan lebih condong ke kepentingan investasi daripada kesejahteraan tenaga kerja.
Oleh karena itu, bila pemerintah serius menjaga stabilitas sosial, maka kenaikan upah di kisaran 8,5-10,5 persen adalah pilihan rasional, bukan ancaman.
Singkat cerita, kenaikan upah bukan hanya soal angka di slip gaji, tapi penegasan arah keadilan sosial. Dalam konteks ekonomi nasional yang mulai pulih, memberi ruang hidup lebih layak bagi pekerja justru akan memperkuat pondasi daya beli, konsumsi domestik, dan stabilitas politik.
“Ketika buruh sejahtera, roda ekonomi berputar lebih cepat. Ketika upah naik wajar, daya beli menguat, dan semua pihak termasuk pengusaha akan merasakan manfaatnya”
Dengan begitu, tuntutan kenaikan 8,5-10,5 persen bukan ancaman terhadap dunia usaha, melainkan investasi sosial untuk masa depan ekonomi yang lebih adil, produktif, dan manusiawi.