Jakarta, KPonline – Setelah perubahan posisi regulasi ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja mendapat sorotan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana, dalam putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, MK meminta agar klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja segera dipisahkan dan dibentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dalam jangka waktu dua tahun. Sejumlah federasi serikat pekerja di Indonesia semakin gencar mendorong pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan baru tanpa omnibus law.
Hal yang dilakukan oleh berbagai Federasi Serikat Pekerja tersebut merupakan respons terhadap sejumlah perubahan regulasi ketenagakerjaan yang terjadi melalui Undang‑Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Serikat pekerja menilai bahwa sejumlah ketentuan perlindungan pekerja yang sebelumnya diatur dalam Undang‑Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) telah mengalami pengurangan atau degradasi dan posisi yang semakin longgar lewat UU Cipta Kerja, sehingga diperlukan regulasi baru yang lebih “bersih” dari metode omnibus agar kembali memperkuat hak-hak pekerja.
UU 13/2003 selama ini menjadi payung utama peraturan pekerja di Indonesia, mengatur berbagai hak dasar seperti ketentuan perjanjian kerja (PKWT/PKWTT), upah minimum berdasarkan kabupaten/kota (UMK), pembatasan outsourcing untuk jenis pekerjaan tertentu, hingga pesangon dan jaminan pekerja.
Namun, dengan lahirnya UU Cipta Kerja melalui metode omnibus law, banyak elemen regulasi ketenagakerjaan berubah dengan tujuan yang katanya mempercepat investasi dan fleksibilitas tenaga kerja, namun kenyataannya ‘ngawur’.
Sebagai contoh:
Pertama, pembatasan waktu PKWT di UU 13/2003 menjadi dibuka tanpa batas dalam UU Cipta Kerja.
Kedua, upah minimum daerah (UMK) yang semula menjadi acuan di UU 13/2003 kini berubah menjadi upah minimum provinsi atau skema lainnya.
Ketiga, outsourcing yang di UU 13/2003 dibatasi jenisnya, lalu dalam UU Cipta Kerja ketentuan tersebut menjadi longgar.
Keempat, perubahan mekanisme pesangon dan kompensasi bagi pekerja yang kontraknya habis atau yang terkena PHK.
Oleh karena itu, banyak serikat pekerja menyebut bahwa perubahan-perubahan tersebut berpotensi melemahkan posisi pekerja dalam negosiasi, perlindungan terhadap status kerja, dan upah layak.
Beberapa poin tuntutan yang digaungkan oleh serikat pekerja adalah:
• Segera dibentuk RUU Ketenagakerjaan yang tidak menggunakan metode omnibus law, dengan fokus utama mengembalikan atau memperkuat perlindungan pekerja yang dianggap telah “tergerus”.
• Mengembalikan ketentuan bahwa PKWT mempunyai batas waktu maksimal (misalnya dua tahun + perpanjangan satu tahun) sehingga pekerja tidak terus-menerus berada dalam posisi kontrak tanpa kepastian.
• Memastikan upah minimum tetap ditetapkan berdasarkan kabupaten/kota atau paling tidak skema yang menjamin “kehidupan yang layak”, sebagaimana semangat UU 13/2003.
• Pembatasan outsourcing hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang benar-benar layak untuk dialih daya, dan bukan untuk pekerjaan inti yang seharusnya dilakukan oleh pekerja tetap.
• Mengembalikan atau memperkuat hak-hak pekerja seperti pesangon dan kompensasi lainnya bagi pekerja yang kontraknya berakhir atau terkena PHK.
Kesimpulannya, dorongan serikat pekerja untuk RUU Ketenagakerjaan tanpa omnibus law mencerminkan keinginan kuat agar hak-hak pekerja yang dinilai melemah pasca UU Cipta Kerja kembali mendapatkan perlindungan yang lebih kokoh.
Dan jika pemerintah dan DPR dapat merespon dengan serius, maka upaya ini bisa menjadi momentum pembaruan regulasi ketenagakerjaan yang kembali ke akarnya, lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Namun keberhasilan nantinya sangat tergantung pada mekanisme pembahasannya.