Jakarta, KPonline-Kritik pedas kembali melayang kepada pemerintah, kali ini dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Ia menyebut rencana kenaikan upah minimum 2026 sebagai keterlaluan dan melecehkan akal sehat kelas pekerja.
Dalam konferensi pers pada Rabu (3/12/2025), Iqbal membongkar betapa kecilnya kenaikan yang ditetapkan pemerintah. Kecil bukan hanya dalam angka, tetapi kecil dalam logika dan kecil dalam keberpihakan.
Pemerintah melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan tetap ngotot memakai formula alpha dengan rentang 0,3 hingga 0,8. Dan jika digunakan angka terkecil, yakni 0,3 seperti yang disodorkan pemerintah, maka kenaikan upah minimum 2026 hanya sekitar 4,3%.
Empat koma tiga persen. Angka yang tidak hanya jauh dari layak, tetapi bahkan tampak seperti candaan pahit yang menertawakan jerih payah buruh.
Dengan rata-rata upah minimum nasional sekitar Rp3.090.000, kenaikan 4,3% itu hanya menambah kira-kira Rp120.000 per bulan. Kurang dari 12 dolar AS. Kenaikan satu bulan gaji buruh, ternyata nilainya lebih rendah daripada sekali makan kebab di Swiss.
Said Iqbal bukan sekadar mengkritik, namun ia membawa bukti langsung dari realitas global. Saat menghadiri rapat ILO Governing Body di Jenewa, ia membeli kebab di Turkish Kebab seharga 19 Dollar Amerika Serikat (US$). Dan dari pengalaman itu, lahirlah sindiran telak yang kini viral.
“Saya beli kebab itu US$19. Indonesia menaikkan upahnya hanya rata-rata Rp120.000, di bawah US$12. Keterlaluan! Kenaikan upah minimum di bawah harga sebuah kebab,” tegas Iqbal.
Perbandingan ini bukan tentang mahalnya Swiss, tetapi tentang betapa tidak relevan nya kebijakan pengupahan Indonesia terhadap biaya hidup buruh di tanah air sendiri. Jika satu kebab setara dengan kenaikan sebulan gaji, lalu di mana letak kehormatan buruh dalam setiap rupiah kebijakan negara?
Iqbal melanjutkan, “Kenaikan upah minimum itu satu bulan, makan kebab itu satu kali makan. Sepertiga hari. Kan makan tiga kali. Keterlaluan”
Masalah bukan hanya pada kecilnya kenaikan, tetapi juga pada cara keputusan itu dibuat. Menurut Iqbal, pemerintah tidak pernah benar-benar mengajak serikat buruh berunding terkait penyusunan RPP Pengupahan.
“Setidak-tidaknya KSPI tidak pernah diajak untuk berdiskusi,” tegasnya.
Forum Tripartit maupun Dewan Pengupahan yang seharusnya menjadi wadah perundingan justru berubah menjadi panggung sosialisasi sepihak. Pemerintah dianggap hanya menyerap aspirasi pengusaha melalui Apindo lalu mengumumkan keputusan jadi, tanpa membuka ruang negosiasi.
“Itu bukan berunding. Pemerintah sudah punya sikap, menampung pikiran-pikiran Apindo, lalu mensosialisasikannya. Bukan negosiasi, bahkan tidak pernah ada perundingan dengan Konfederasi”
Jika pengusaha diberi panggung, buruh hanya diberi pengeras suara untuk mendengarkan keputusan final. Inilah akar kemarahan gerakan buruh.
Situasi yang dianggap sepihak dan mengabaikan perundingan akhirnya memicu penolakan total. KSPI, Partai Buruh, dan Koalisi Serikat Pekerja yang terdiri dari 72 organisasi pekerja menegaskan bahwa RPP Pengupahan tidak dapat dijadikan dasar penetapan upah minimum 2026.
“Karena tidak ada perundingan dan keputusan sepihak dari pemerintah, maka kami menolak RPP tersebut. Karena ditolak buruh, RPP itu tidak bisa menjadi dasar penetapan upah minimum,” tutup Iqbal.