Upah Minimum Pasca Putusan MK: Kembali ke Akar Kebutuhan Hidup Layak

Upah Minimum Pasca Putusan MK: Kembali ke Akar Kebutuhan Hidup Layak

Purwakarta, KPonline – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghitungan upah minimum kembali menjadi sorotan publik, terutama kalangan pekerja, serikat buruh, dan pengusaha. MK menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL), bukan sekadar hitung-hitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Keputusan ini dianggap sebagai titik balik penting dalam perjuangan buruh yang selama bertahun-tahun menolak formula pengupahan berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, menurut serikat pekerja, mekanisme lama membuat kenaikan upah minimum tidak cukup menutup kebutuhan dasar pekerja, apalagi dalam situasi harga barang pokok yang terus merangkak naik.

Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa negara tidak boleh mengabaikan prinsip kesejahteraan pekerja. Upah minimum harus menjamin pekerja dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, hingga kesehatan.

“Upah minimum adalah jaring pengaman sosial. Ia tidak boleh dihitung sekadar dari angka pertumbuhan ekonomi, melainkan harus berangkat dari kebutuhan hidup layak pekerja,” demikian kutipan putusan MK.

Dengan demikian, pemerintah daerah bersama Dewan Pengupahan akan kembali melakukan survei harga kebutuhan pokok di pasar untuk menentukan KHL yang menjadi dasar perhitungan upah minimum.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut putusan MK sebagai “kemenangan moral” bagi buruh.

“Selama ini, formula yang berlaku tidak berpihak pada buruh. Dengan kembali ke KHL, setidaknya ada kepastian bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan realitas harga kebutuhan di lapangan, bukan semata angka statistik,” ujarnya.

Serikat buruh juga menekankan bahwa pengawasan implementasi putusan MK menjadi kunci. “Jangan sampai hanya keputusan di atas kertas, tapi pelaksanaannya tetap dikendalikan kepentingan investor,” tambahnya.

Sementara itu, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengingatkan agar kebijakan ini tidak membebani dunia usaha. Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menegaskan bahwa perlu ada keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan keberlangsungan usaha.

“Kami mendukung prinsip kesejahteraan pekerja, tetapi penetapan upah harus mempertimbangkan kondisi industri. Jangan sampai ada gelombang PHK karena perusahaan tidak mampu menanggung beban kenaikan,” katanya.

Kementerian Ketenagakerjaan pun merespons putusan MK dengan menyatakan akan menyesuaikan aturan teknis penetapan upah minimum. Pemerintah daerah juga diminta lebih transparan dalam melakukan survei KHL agar hasilnya tidak diragukan.

Bagi pekerja, putusan MK hanya langkah awal. Tantangan sesungguhnya adalah memastikan bahwa KHL benar-benar dihitung sesuai kebutuhan nyata dan tidak dipengaruhi kepentingan politik maupun tekanan dunia usaha.

Jika dijalankan dengan konsisten, penghitungan berbasis KHL diyakini akan menjadi pondasi kuat acuan standarisasi nilai upah dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh Indonesia. Namun bila diabaikan, putusan MK hanya akan menjadi catatan hukum tanpa daya.