Upah Minimum: Keberlangsungan Dunia Usaha Versus Kepastian Hidup Layak Kelas Pekerja

Upah Minimum: Keberlangsungan Dunia Usaha Versus Kepastian Hidup Layak Kelas Pekerja

Purwakarta, KPonline-Setiap menjelang akhir tahun, wacana klasik kembali diputar, yaitu penetapan upah minimum. Seperti kaset tua yang selalu diputar bolak-balik, argumen pun selalu sama. Pengusaha menuntut keberlangsungan dunia usaha, sementara buruh bersuara menuntut kepastian hidup layak. Dua hal yang saling bertabrakan di dalam dunia ekonomi.

Di sisi lain, Pemerintah seperti biasa, tampil di tengah. Tapi posisi “tengah” itu apakah benar-benar netral?

Upah minimum sejatinya lahir dari prinsip hidup layak. Bukan kaya, bukan mewah, hanya layak untuk memenuhi kebutuhan dasar seorang pekerja dan keluarganya tanpa harus berutang atau lembur mati-matian. Sementara, asosiasi pengusaha lantang bersuara bahwa kenaikan upah akan “mengancam iklim investasi” dan “membebani dunia usaha”.

Saat buruh bicara soal harga beras, pengusaha bicara soal harga saham.
Saat buruh bicara soal dapur, pengusaha bicara soal neraca.
Dan saat buruh bicara soal hidup, pengusaha bicara soal margin.

Ironisnya, ketika buruh menuntut kenaikan upah, mereka sering dicap tidak realistis. Padahal, apa yang mereka minta hanyalah harga hidup, bukan harga mati.

Mereka ingin bisa makan tiga kali sehari tanpa khawatir harga cabai.
Mereka ingin anaknya bisa sekolah tanpa harus berutang.
Mereka ingin pulang kerja dengan sedikit tenaga tersisa untuk tersenyum, bukan hanya untuk tidur.

Tapi entah bagaimana, semua itu dianggap ancaman terhadap “iklim investasi”. Dan entah sejak kapan, hidup layak berubah menjadi ancaman ekonomi.

Gerakan buruh Indonesia tahu betul, upah bukan sekadar angka di surat keputusan gubernur. Upah adalah harga diri dan urat nadi. Karena, di balik setiap tuntutan kenaikan, ada jeritan dapur yang menahan lapar dan ada masa depan anak-anak yang sedang diperjuangkan.

Singkatnya, setiap jelang akhir tahun, pengusaha selalu bicara soal “rasionalitas kenaikan upah” agar keberlangsungan dunia usaha bisa berjalan dengan baik. Sedangkan, buruh berbicara upah layak, karena kepastian dalam menjalani hidup berawal dari itu.

Kembali lagi, pertanyaannya:
Apakah bangsa ini ingin memastikan pabrik tetap berdiri, atau memastikan manusia di dalamnya tetap hidup?

Sebab sejarah akan mencatat bahwa bangsa yang memilih kepastian bagi modal di atas kepastian hidup rakyatnya, bukan sedang membangun ekonomi, tetapi sedang menggali kubur peradabannya sendiri.