Upah Minimum dan Masa Depan Buruh : Antara Harapan dan Kenyataan

Upah Minimum dan Masa Depan Buruh : Antara Harapan dan Kenyataan

Medan,KPonline, – Upah minimum baik Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) adalah nilai upah terendah yang ditetapkan oleh pemerintah dan wajib dibayarkan pengusaha kepada buruhnya, serta pengusaha dilarang membayar upah di bawah ketentuan tersebut.

Setiap tahun, isu upah minimum menjadi medan pertempuran klasik antara buruh, pengusaha, dan negara. Di atas kertas, pemerintah menegaskan bahwa upah minimum adalah instrumen jaminan agar buruh memperoleh penghasilan layak, yang mampu memenuhi sepuluh kebutuhan dasar hidupnya, yakni:

1.Kebutuhan makanan yang layak

2.Pakaian layak

3.Perumahan yang layak

Kesehatan yang layak

5.Pemenuhan kebutuhan untuk membangun keluarga

6.Pendidikan yang layak

7.Kebutuhan spiritual

8.Kebutuhan sosial

9.Hiburan dan rekreasi

10.Jaminan hidup di hari tua

Pemerintah melalui Dewan Pengupahan memastikan bahwa nilai upah minimum dihitung berdasarkan riset harga pasar terhadap 64 Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KKHL).

Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Upah minimum justru sering menjadi penjara kesejahteraan, mengurung buruh dalam lingkaran kemiskinan yang abadi, Sebab perhitungannya hanya untuk kebutuhan hidup buruh dengan status lajang tanpa tanggungan keluarga.

Lebih jauh lagi, penentuan nilainya kini tidak lagi sepenuhnya berbasis riset dan survei harga 64 KKHL di pasar tradisional oleh Dewan Pengupahan, tetapi riset dan survei diatas meja mengikuti rumus matematis yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 (pengganti PP 36 Tahun 2021),yang menggabungkan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, bukan kebutuhan riil buruh, sehingga hasilnya tidak mampu memenuhi 64 KKHL.

Akibatnya, buruh tetap menjadi korban kompromi politik antara kepentingan modal dan tekanan fiskal pemerintah.

Selain penerapan upah minimum pengusaha juga diwajibkan menerapkan struktur dan skala upah, yaitu susunan tingkatan upah berdasarkan masa kerja, jabatan, golongan, pendidikan, dan kompetensi.

Tetapi penerapan ketentuan ini masih jauh dari harapan, banyak pengusaha bahkan belum mematuhi upah minimum itu sendiri, apalagi membangun struktur dan skala upah yang adil.

Bagi buruh di sektor padat karya dan manufaktur, upah minimum bukanlah simbol kesejahteraan, melainkan angka bertahan hidup.

Ketika harga pangan, sewa rumah, dan biaya pendidikan terus naik, kenaikan upah tahunan yang hanya beberapa persen tidak lagi berarti apa-apa.

Yang lebih menyedihkan lagi, konsep upah minimum yang sejatinya dirancang sebagai jaring pengaman sosial, dalam praktiknya berubah menjadi batas maksimal yang digunakan pengusaha. Banyak perusahaan menjadikan upah minimum sebagai patokan tetap, bukan dasar negosiasi, sehingga buruh yang berpengalaman dan produktif pun tidak memperoleh penghargaan yang layak.

Sementara itu, praktik outsourcing, kontrak jangka pendek, dan kerja fleksibel semakin menjauhkan buruh dari kepastian pendapatan. Dalam sistem seperti ini, upah murah dijadikan strategi utama demi efisiensi, sedangkan kesejahteraan buruh dikorbankan atas nama daya saing global.

Kebijakan deregulasi yang berpihak pada modal, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, telah memperlemah posisi tawar buruh dan serikat buruh, prinsip hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan kian luntur di bawah tekanan investasi.

Di sisi lain, otomatisasi dan digitalisasi mengubah lanskap kerja secara drastis. Sektor-sektor tradisional seperti manufaktur dan perkebunan yang selama ini menyerap tenaga kerja besar akan semakin tergerus.

Tanpa strategi nasional yang berpihak pada manusia pekerja, buruh akan terpinggirkan, digantikan oleh mesin dan kebijakan yang tidak manusiawi.

Masa depan buruh tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Serikat buruh harus menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan perubahan struktural, bukan sekadar menawar angka tahunan.

Tiga Agenda Perjuangan Serikat Buruh

1.Reformasi Kebijakan Upah.

Upah minimum harus berbasis living wage (upah layak hidup), yakni pendapatan yang memungkinkan buruh memenuhi 10 kebutuhan dasar pokok hidupnya. Upah bukan sekadar angka kompromi antara penguasa dan pengusaha, melainkan hak konstitusional setiap buruh

2.Penguatan Serikat buruh.

Semua serikat buruh lahir dari rahim ibukandung yang sama, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000.tentang Serikat Buruh, memiliki tujuan dan fungsi yang sama, konsolidasi antar serikat buruh adalah keharusan. Tanpa kekuatan kolektif, buruh akan terus kalah. Pendidikan politik, solidaritas lintas sektor, dan konsolidasi nasional harus diperkuat untuk menghadapi ketidakadilan struktural.

3.Keterlibatan dalam Perumusan Kebijakan Nasional

Buruh harus menjadi aktor utama dalam penyusunan kebijakan ekonomi, industri, pendidikan, hingga jaminan sosial,karena masa depan buruh adalah masa depan bangsa.

Upah minimum bukanlah tujuan akhir, melainkan titik awal perjuangan menuju kesejahteraan sejati. Masa depan buruh hanya akan cerah jika mereka bersatu, berorganisasi, dan berjuang melampaui batas-batas regulasi yang mengekang.

Buruh bukan sekadar faktor produksi, melainkan manusia bermartabat yang berhak atas kehidupan yang layak, adil, dan sejahtera. (Anto Bangun)