Jakarta, KPonline-Pemerintah bilang akan menata, buruh bilang gak jelas dan sementara rumus angka-angka terus berputar di meja kabinet, jalanan kembali menunggu. Pertarungan kepentingan seputar Upah Minimum (UM) 2026 berubah jadi laga tarik–menarik antara istana, kementerian, pengusaha, dan gerakan massa serikat buruh. Hasilnya? ancaman kenaikan yang kecil, kontroversi aturan, dan kemungkinan gelombang aksi yang tak bisa dianggap remeh.
Pemerintah semula menyiapkan pengumuman upah minimum 2026 pada batas akhir yang diamanatkan peraturan, yakni 21 November. Tetapi rencana pengumuman itu batal dan menimbulkan kecurigaan rakyat buruh maupun publik soal campur tangan kepentingan. Keputusan batal diumumkan ini sendiri mendapat sorotan tajam karena UU/PP mengatur batas waktu penetapan.
Dalam perhitungan ada indeks tertentu yang jadi sumber seluruh kontroversi, dimana angka 0,2 sampai 0,7 yang disodorkan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menghitung kenaikan UMP. Jika memakai indeks rendah itu, kenaikan yang diusulkan hanya sekitar puluhan ribu di banyak provinsi melambung sebagai kenaikan kurang dari Rp100.000. Sebuah angka yang bagi serikat pekerja adalah penghinaan terhadap biaya hidup pekerja.
Kritik keras pun datang dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menyebut formula itu sebagai rezim upah murah yang menghidupkan kembali praktik pengupahan yang timpang.
Mengapa angka Indeks kecil itu bisa muncul? Pemerintah menyatakan bahwa perumusan kenaikan UMP harus mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu sebagaimana mekanisme teknis dalam aturan pengupahan. Sebuah logika makroekonomi yang bagi para birokrat terlihat rasional. Tapi bagi gerakan buruh, logika itu berubah jadi alat legitimasi untuk menahan kenaikan upah ketika tekanan dari pengusaha dan ketidakpastian pemulihan ekonomi digunakan sebagai alasan. Hanya saja, ketika publik mendengar rumus teknis tanpa konteks sosial, muncul kesan bahwa matematika dipakai untuk menindas.
Rekam jejak juga jadi senjata retorika. Pada akhir tahun 2024, Presiden pernah mengumumkan kenaikan upah serentak (rata-rata 6,5% untuk 2025) yang disambut pro dan kontra sekaligus. Kemudian, kenaikan itu kini dijadikan pembanding oleh buruh yang menuntut angka yang setara atau lebih besar.
Sementara pengusaha dan sebagian pembuat kebijakan ingin angka yang aman agar investasi tidak terganggu. Perbandingan historis inilah yang membuat UMP 2026 terasa seperti perebutan legitimasi. Siapa yang paling peduli pada rakyat pekerja?
Di satu sisi ada kekhawatiran pengusaha, termasuk asosiasi seperti Apindo agar kenaikan upah tidak memukul sektor yang belum pulih. Di sisi lain ada serikat buruh yang menuntut kenaikan signifikan (beberapa tuntutan menuntut 6,5% atau bahkan angka ganda persen sebagai baseline). Hasilnya yaitu negosiasi yang memanas, isu indeks yang dikapitalisasi oleh pihak-pihak yang ingin menahan kenaikan, dan gerak massa yang sudah diumumkan untuk turun ke jalan. Selain Media Perdjoeangan, Tempo dan media lain melaporkan bahwa pimpinan buruh menyiapkan aksi besar jika angka yang diumumkan tidak memuaskan.
Apa yang dipertaruhkan? Lebih dari sekadar angka. Mulai dari legitimasi politik, stabilitas industrial, dan kredibilitas aturan pengupahan. Bila pemerintah tampak menahan kenaikan dengan alasan teknis, serikat buruh akan menilai itu sebagai prioritas pada kepentingan pengusaha dan stabilitas investasi ketimbang kesejahteraan pekerja. Bila sebaliknya pemerintah mengumumkan kenaikan besar, resiko protes pengusaha dan klaim gangguan iklim investasi akan muncul. Di tengahnya, pekerja tetap membayar tagihan listrik, sekolah anak, dan kebutuhan pokok yang selalu naik. Dan itu adalah hal yang tak bisa dipersenjatai oleh indeks.
Langkah apa yang mungkin terjadi selanjutnya?
• Negosiasi politik: wakil rakyat dan dewan pengupahan daerah mungkin dipanggil untuk menengahi formula dan menghindari kesan keputusan sepihak dari kementerian.
• Aksi massa: serikat kuat mengancam aksi nasional yang bisa mengerem kegiatan ekonomi bila tuntutan diabaikan. Publik perlu bersiap melihat jalanan kembali jadi arena politik upah.
• Revisi teknis: ada dorongan untuk revisi PP/aturan pengupahan agar proses lebih transparan. Sebuah opsi yang didukung beberapa pihak di pemerintahan.
Bila angka hanyalah permainan rumus. Sedangkan upah minimum pekerja adalah soal biaya memenuhi kebutuhan hidup layak, maka siapa sebenarnya yang sedang dilindungi oleh kebijakan ini? Apakah bangsa ini akan memilih hukum angka atau hukum kebutuhan manusia? Kalau politik upah hanya menjadi matematik birokrasi, jangan heran jika massa buruh memilih jalanan sebagai hakim.