Menjelang diumumkannya upah minimum provinsi (UMP)/ upah minimum kabupaten (UMK) 2026, buruh memasuki fase yang sudah sangat mereka kenal yaitu harap-harap cemas dengan dominasi cemasnya 98%.
Dan itu merupakan ritual tahunan yang entah harus disebut komedi politik, tragedi sosial, atau sekadar tontonan murahan. Tahun 2026 pun tidak berbeda. Bedanya, kali ini derajat absurditasnya naik dua tingkat. Buruh semakin cemas, sementara pemerintah dan pengusaha tampak berkompetisi siapa yang paling kreatif menurunkan harapan orang banyak.
Jika ada penghargaan untuk negara paling rajin memaksa rakyat kecil menunggu keajaiban yang tidak pernah datang, mungkin Indonesia sudah menang berkali-kali.
Pemerintah terlihat sibuk membahas indeks, formula, koordinasi pusat-daerah, dan segala istilah teknokratis yang membuat rakyat merasa bodoh. Padahal intinya cuma satu:
berapa rupiah tambahan yang boleh diterima buruh tanpa membuat pengusaha tersinggung.
Apa pun narasi resminya, ujungnya selalu sama:
• buruh disuruh menerima
• buruh disuruh maklum
• buruh disuruh berbesar hati
• buruh disuruh percaya bahwa negara hadir
Ironisnya, negara memang hadir. Namun, hadir untuk memastikan kenaikan upah selalu lebih kecil daripada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kalau ini bukan satire yang berjalan sendiri, apa lagi namanya?
Setiap tahun pemerintah memperkenalkan formula baru atau memelintir formula lama. Seolah-olah rumusnya adalah teknologi tingkat tinggi yang dapat menciptakan kesejahteraan dari udara.
Nyatanya, rumus itu hanya menghasilkan dua hal:
• Pengusaha tepuk tangan
• Buruh tepuk jidat
Dan untuk tahun ini, indeks 0,2–0,7 kembali melayang seperti pesawat tanpa pilot. Tidak ada buruh yang benar-benar paham bagaimana angka itu muncul, sebagaimana tak ada buruh yang paham mengapa harga beras bisa naik tapi upah harus dibatasi. Yang jelas, semakin mendekati tanggal 21 November, semakin jelas pula bahwa angka itu bukan untuk menyejahterakan buruh — melainkan untuk menenangkan investor yang lebih mudah panik daripada rakyat yang hidup pas-pasan.
Lucunya, pemerintah menyuruh semua pihak tenang dan menunggu.
Seakan-akan perut buruh juga bisa menunggu.
Suasana batin buruh penetapan upah 2026 bisa digambarkan seperti orang yang menunggu hasil tes medis berbahaya, tapi dokter yang memeriksanya tidak pernah sakit seumur hidup.
Bagaimana tidak?
Keputusan upah ditentukan oleh:
• Orang-orang yang tidak pernah hidup dengan gaji UMR
• Orang-orang yang makan di restoran tanpa melihat harga
• Orang-orang yang pulang kerja tidak naik motor, tapi dikawal
• Orang-orang yang menyebut upah Rp3 juta sebagai cukup padahal mereka habis Rp3 juta hanya untuk satu kali rapat di hotel
Buruh diminta percaya kepada mereka.
Sementara pengalaman hidup mereka berbeda sejauh langit ke dasar kontrakan.
Setiap tahun alasan yang dipakai pemerintah tidak pernah berubah:
•Stabilitas ekonomi
•Menjaga investasi
•Menjaga iklim usaha
•Menghindari PHK massal
“Kalau upah naik terlalu tinggi, pabrik bisa lari”
Kita sudah hafal. Bahkan buruh yang baru masuk kerja dua minggu pun sudah bisa menirukan alasan itu dengan nada sarkastik.
Pertanyaan paling satir adalah:
Kalau benar upah buruh yang rendah itu demi kebaikan ekonomi, kenapa ekonomi kita tetap begitu-begitu saja?
Mungkin jawabannya sederhana:
Negara ini tidak sedang membangun kesejahteraan. Negara ini sedang membangun mitos bahwa semua kesulitan adalah bagian dari “proses”.
Faktanya:
Yang mengalami proses hanya buruh.
Yang menikmati hasil hanya segelintir orang.
Salah satu komedi terbesar adalah kenyataan bahwa harga kebutuhan pokok tidak pernah menunggu formula apa pun untuk naik. Tidak pernah ada rapat teknis untuk menaikkan harga cabai, tidak ada rapat koordinasi lintas kementerian untuk menaikkan kos-kosan, tidak ada sidang dewan pengupahan untuk menyesuaikan tarif ojek online.
Harga naik sesuka hati.
Tapi upah naik harus taat aturan super rumit. Kalau ada yang perlu diatur sebenarnya bukan upah buruh, tapi nafsu pengusaha dan ketakutan pemerintah.
Setiap kali buruh menuntut kenaikan upah layak, pemerintah selalu bertanya:
“Apakah tuntutannya tidak terlalu tinggi?”
Pertanyaan itu lucu.
Seolah-olah buruh menuntut kapal pesiar, bukan sekadar tambahan Rp150 ribu agar bisa membeli susu anak tanpa berhutang.
Buruh hanya ingin:
•makan 3 kali tanpa hitung gram nasi
•bayar kontrakan tanpa berdebar
•sekolah anak tidak putus
•punya tabungan meski receh
•pulang tanpa harus kerja lembur paksa
Apakah itu terlalu mewah?
Jika hal sederhana seperti itu dianggap “tuntutan besar”, maka republik ini sedang memelihara ilusi tentang kemajuan.
Mungkin pemerintah dan pengusaha menganggap perdebatan upah hanyalah soal angka.
Namun bagi buruh, angka itu adalah:
•apakah keluarga makan atau tidak
•apakah bisa berobat atau tidak
•apakah anak bisa sekolah atau tidak
•apakah bulan depan bisa bertahan atau tidak
Buruh tidak memperdebatkan teori ekonomi. Buruh memperdebatkan hak untuk hidup.
Dan setinggi apa pun satirenya, satu kebenaran tetap berdiri tegak:
Tidak ada bangsa yang benar-benar maju jika mereka membiarkan tulang punggung ekonominya patah.
Setiap tahun begitu.
Dari 2010 hingga 2025, pola yang sama berulang:
•buruh berharap
•pemerintah rapat
•pengusaha mengeluh
•angka diumumkan
•buruh marah
•aksi turun ke jalan
•pemerintah minta maklum
•siklus kembali dari awal
Tahun 2026 tidak akan berbeda, kecuali satu hal yaitu kesadaran buruh bahwa mereka sedang dipermainkan.
Ada adagium penting dalam perjuangan buruh: ketika kenyataan semakin absurd, satire menjadi satu-satunya cara menjelaskan kebenaran.
Dan kenyataan hari ini memang absurd:
• Pabrik pindah bukan karena upah, tapi upah tetap disalahkan.
• Pengusaha untung besar, tapi yang diminta berhemat adalah buruh.
• Pemerintah bicara kesejahteraan, tapi kebijakannya menghindari kesejahteraan.
Negara memanggil buruh “pahlawan ekonomi”, tapi memperlakukan mereka seperti figuran.
Kalau bukan buruh yang bersuara, siapa lagi?
Negara?
Pengusaha?
Tentu tidak.
Upah Minimum 2026 bukan nominalisasi pendapatan. Ia adalah cermin apakah negara ini benar-benar berpihak pada rakyat pekerja, atau sekadar pura-pura peduli sambil melayani kepentingan modal.
Buruh telah terlalu lama menjadi korban dari permainan politik, formula matematis, dan janji-janji kosong.
Tidak ada yang lebih provokatif daripada kenyataan itu sendiri.
Dan jika pemerintah masih berharap buruh hanya diam dan menunggu, maka mereka lupa satu hal:
Rakyat kecil boleh sabar, tapi tidak selamanya. Ketika hidup ditekan, suara akan meledak. Dan 2026 bisa menjadi tahun dimana satire berubah menjadi perlawanan nyata.