Upah Minimum 2026, Ketua FSPMI Purwakarta: Seharusnya Pemerintah Pilih Rakyat Buruh Bukan Disnaker

Upah Minimum 2026, Ketua FSPMI Purwakarta: Seharusnya Pemerintah Pilih Rakyat Buruh Bukan Disnaker
Foto by Apri Rinaldy | Media Perdjoeangan Purwakarta

Purwakarta, KPonline – Ketegangan dalam dunia industri di penghujung tahun kembali memuncak di Kabupaten Purwakarta. Keputusan diskresi yang diambil oleh Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, terkait penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) 2026 telah menjadi sumber kemarahan di kalangan organisasi buruh FSPMI Purwakarta. Langkah itu dinilai sebagai pukulan telak bagi kaum pekerja yang menuntut kehidupan layak, dan bukti nyata bahwa suara rakyat pekerja semakin terpinggirkan oleh kepentingan birokrasi dan kebijakan pemerintah lokal.

Pusat konflik, Bupati menetapkan nilai (@) alfa pada angka 0.7 dalam diskresinya sebagai basis penghitungan kenaikan UMK dan UMSK 2026. Langkah ini diambil setelah perselisihan (perbedaan) pandangan antara pemerintah, buruh, dan pengusaha dalam rapat Depekab (Dewan Pengupahan Kabupaten), dimana buruh menuntut angka yang jauh lebih tinggi, yakni 0.9 sementara pengusaha, Disnaker dan unsur akademisi bersikukuh menekan kenaikan.

Ketua KC (Konsulat Cabang) FSPMI Purwakarta, Fuad BM langsung meradang atas keputusan tersebut. Menurutnya, kebijakan bupati jauh dari kata apresiatif terhadap aspirasi buruh Purwakarta. Ia menuding bahwa pemerintah daerah lebih mendengarkan suara Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) maupun akademisi ketimbang suara rakyat pekerja yang setiap hari menghadapi tekanan biaya hidup. Dalam konteks ini, ketua FSPMI menyatakan bahwa pendekatan pemerintah adalah contoh buruk kepemimpinan yang semakin tertinggal dibandingkan daerah lain yang berani menetapkan standar upah lebih tinggi untuk pekerjanya.

Fuad pun tegas menyatakan bahwa keputusan diskresi yang lebih menguatkan masukan Disnaker dan akademisi ketimbang tuntutan buruh adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat pekerja. Ia menilai keputusan bupati yang didukung pihak birokrasi justru memperburuk daya beli pekerja di Kabupaten Purwakarta, di tengah tekanan ekonomi yang terus naik. Sebuah situasi dimana kehidupan layak seharusnya menjadi prioritas utama dari setiap kebijakan upah minimum.

Tidak berhenti di situ, ketua FSPMI juga mengungkap kritik pedas bahwa Purwakarta kini tertinggal jauh dari daerah lain di Jawa Barat dan sekitarnya, seperti Bekasi atau Bogor, yang di beberapa kesempatan menggunakan tingkat indeks yang lebih tinggi dalam usulan UMK dan UMSK demi melindungi daya beli pekerjanya. Ia mempertanyakan keberanian pemerintah Purwakarta mengambil sikap pro-rakyat ketika daerah lain menunjukkan keberpihakan yang lebih kuat kepada kelas pekerja.

Dalam konteks politik ketenagakerjaan nasional, formula alfa kini sudah diatur lebih fleksibel dalam aturan terbaru oleh pemerintah pusat dengan rentang 0.5 hingga 0.9 sebuah ruang kebijakan yang memungkinkan pemerintah daerah memilih angka lebih berpihak kepada buruh bila memang memiliki keberanian politik untuk itu.

Di satu sisi, pemerintah berharap diskresi dan pertimbangan Disnaker dapat menenangkan konflik. Namun, di pihak lain, buruh menilai langkah tersebut justru mempertegas ketidaksensitifan birokrasi terhadap realitas kehidupan buruh yang semakin berat.

Keputusan menetapkan angka koefisien alpha 0.7 dalam diskresi Bupati Purwakarta di penetapan UMK dan UMSK 2026 telah menjadi detonator konflik kelas antara pemerintah daerah dan buruh.

Dan kondisi ini mencerminkan sebuah titik krisis dalam relasi industrial di Purwakarta antara kelas pekerja yang menuntut hidup layak dan pemerintah yang justru tampak lebih condong kepada masukan teknokratis Disnaker maupun akademisi.