Bandung, KPonline-Serikat Buruh se-Jawa Barat, termasuk Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate Bandung, Selasa (23/12/2025), untuk mengawal ketat proses penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026. Aksi ini digelar setelah seluruh rekomendasi besaran UMK dari bupati dan wali kota resmi diserahkan ke Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) Jawa Barat dan tinggal menunggu ketetapan Gubernur.
Panglima Koordinator Nasional (Pangkornas) Garda Metal FSPMI, Supriyadi Piyong, menegaskan bahwa saat ini Depeprov Jawa Barat tengah menggelar rapat pleno membahas UMK dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026. Ia menyebut, hampir seluruh daerah telah menyampaikan rekomendasi sesuai tenggat waktu. “Hampir 27 kabupaten/kota sudah merekomendasikan UMK, 22 di antaranya juga mengusulkan UMSK. Hanya lima daerah yang tidak mengusulkan UMSK,” ujarnya.
Menurut Supriyadi, mayoritas rekomendasi daerah telah mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, dengan penggunaan indeks alpha di kisaran 0,5 hingga maksimal 0,9. Karena itu, serikat buruh mendesak Gubernur Jawa Barat agar tidak mengubah, mengembalikan, apalagi merevisi usulan yang telah disepakati di tingkat kabupaten/kota. “Gubernur pernah berjanji, sepanjang sesuai PP 49, rekomendasi tidak akan dikembalikan atau direvisi. Janji itu yang kami kawal hari ini,” tegasnya.
Namun demikian, serikat pekerja masih mencermati dinamika rapat pleno, terutama potensi penolakan dari kalangan pengusaha. Supriyadi menilai jurang perbedaan sikap masih lebar, karena Apindo di hampir seluruh Jawa Barat hanya merekomendasikan alpha 0,5, sementara pemerintah daerah rata-rata berada di kisaran 0,7 hingga 0,9. “Kami khawatir ada tekanan agar angka diturunkan. Padahal tuntutan buruh jelas, alpha 0,9 dengan kenaikan sekitar 6,78 sampai 7,31 persen, sesuai rekomendasi bupati dan wali kota,” katanya.
Serikat buruh juga menegaskan penetapan UMK 2026 tidak boleh kembali molor seperti tahun-tahun sebelumnya. Pengembalian rekomendasi dinilai berpotensi menimbulkan persoalan hukum sekaligus melanggar batas waktu penetapan. “Aturannya paling lambat 24 Desember. Kalau dikembalikan lagi, waktu habis. Buruh tidak mau terus jadi korban tarik-menarik kepentingan,” pungkas Supriyadi.