Upah Buruh Terus Dikerdilkan: Ketika Penguasa Takluk pada Modal dan Kehilangan Akal Sehat

Upah Buruh Terus Dikerdilkan: Ketika Penguasa Takluk pada Modal dan Kehilangan Akal Sehat

Subang, KPonline – Sejak era Semaoen, Suryo Pranolo, hingga masa modern yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, kita selalu diyakinkan bahwa sistem demokrasi adalah jalan menuju perubahan, kesejahteraan, dan keadilan.

Demokrasi dipuja sebagai mekanisme yang mampu memperbaiki nasib rakyat, termasuk buruh. Dengan demokrasi, hukum seharusnya ditegakkan, keadilan ditegakkan, dan kesejahteraan diwujudkan.

Bacaan Lainnya

Namun faktanya, setiap kali berbicara tentang upah buruh, hak paling mendasar, urat nadi kehidupan para pekerja, keadilan justru selalu berujung setengah hati. Buruh adalah penggerak roda ekonomi, tulang punggung produksi, penyumbang pajak terbesar negara.

Tidak akan ada gedung pencakar langit, jalan halus beraspal, pakaian yang kita kenakan, hingga peralatan yang digunakan masyarakat luas, bila tidak ada buruh yang memproduksi. Tetapi, ketika saatnya buruh menuntut haknya, terutama soal kenaikan upah, keseriusan itu berubah menjadi pengingkaran.

Upah buruh selalu dikebiri, selalu jauh dari rasa keadilan dan jauh dari makna sejahtera. Harapan hidup layak sering kali hanya berubah menjadi mimpi, seperti gelandangan yang menunggu kereta keajaiban yang mungkin tak akan pernah datang.

Sejak zaman kolonial hingga era demokrasi yang katanya modern ini, watak kapitalisme tidak pernah berubah. Penghisapan terhadap buruh tetap menjadi strategi utama untuk menjaga kekuasaan dan kemewahan mereka. Kesejahteraan buruh dipandang sebagai ancaman: ancaman terhadap modal, prestise, gaya hidup glamor, liburan mewah, dan kekuasaan yang mereka genggam.

Karena itu mereka menggunakan segala cara agar upah buruh tetap rendah dan hak kesejahteraan terus dipangkas.

Lalu bagaimana dengan penguasa, pemerintah? Bukankah tugas utama mereka adalah menyejahterakan rakyat, termasuk buruh, sesuai amanat UUD 1945 dan berbagai regulasi ketenagakerjaan yang mereka buat sendiri bersama wakil rakyat?

Ironisnya, hidup mereka justru difasilitasi dengan sangat mewah, dari pakaian seragam, sepatu, alat tulis kantor, fasilitas kendaraan, gedung megah, sampai hal yang paling pribadi, semua itu berasal dari pajak buruh. Namun setiap periode kekuasaan, dengan wajah berganti-ganti, sifatnya tetap sama: takluk, tunduk, dan bodoh di hadapan kepentingan modal.

Contohnya terlihat jelas dalam penetapan kenaikan upah buruh tahun 2026, yang dihitung menggunakan “rumus” yang mereka ciptakan sendiri. Hasilnya: kenaikan hanya 3,75%, sekitar Rp100 ribuan, sementara pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12%.

Logika apa yang bisa menerima bahwa daya beli meningkat jika kenaikan upah lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi? Bukankah ini bentuk paling nyata dari kebodohan kekuasaan?

Sangat jelas: penguasa telah kalah sebelum bertarung. Takluk pada modal, dan kehilangan akal sehat.

✍️ Ditulis oleh: Aap Kasep

Pos terkait