Purwakarta, KPonline-Seperti yang sejak awal diungkap serikat buruh, kekacauan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026 akhirnya benar-benar terjadi. Dari 18 kabupaten/kota di Jawa Barat yang sebelumnya telah mengajukan rekomendasi UMSK, enam daerah dihapus total, sementara 12 lainnya dipangkas nilai dan sektor secara signifikan. Koreksi kebijakan ini lebih terasa seperti amputasi. Tajam, sepihak, dan minim empati.
Ironisnya, Kabupaten Purwakarta, salah satu kantong industri manufaktur terbesar di Jawa Barat justru masuk daftar daerah yang UMSK-nya dihapus atau ditiadakan.
Dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.863-Kesra/2026 tentang UMSK Tahun 2026, nama Purwakarta tak tercantum sama sekali. Hilang. Seolah pabrik, denyut produksi, dan keringat buruh yang menggerakkan roda ekonomi daerah itu tak pernah ada.
Tragedi pun kian getir karena Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang akrab disapa dengan Bapak Aing pernah dua periode menjabat Bupati Purwakarta. Daerah yang dulu menjadi titik awal panggung politiknya, kini justru terpinggirkan oleh kebijakan yang menghapus perlindungan sektoral upah.
Pertanyaannya kini sederhana, apa yang berubah? Purwakarta nya, atau arah keberpihakan kebijakannya?
Serikat buruh membaca penghapusan dan pemangkasan UMSK ini sebagai sinyal yang gamblang, dimana suara pengusaha lebih nyaring terdengar dibanding jeritan buruh. Padahal, UMSK lahir sebagai instrumen keadilan mengakui risiko, beban kerja, dan produktivitas sektor tertentu. Menghapusnya berarti meratakan masalah dengan penggaris kebijakan, bukan menyelesaikannya.
Kini, buruh Purwakarta hanya bisa mencatat satu hal. Rekomendasi yang diajukan tak sampai, perlindungan sektoral diputus, dan ingatan politik diuji.
UMSK dipangkas, dapur keadilan buruh dihapus, dan “Bapak Aing” ditantang untuk membuktikan apakah keberpihakannya masih hidup, atau ikut hilang bersama nama Purwakarta di lembar keputusan.