Purwakarta, KPonline-Sengkarut penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026 di Jawa Barat kian menjelma menjadi bara panas di penghujung tahun 2025. Alih-alih memberi kepastian bagi buruh, kebijakan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) justru memantik amarah kolektif kaum pekerja.
Api konflik itu bermula ketika KDM tidak menetapkan UMSK 2026 di tujuh kabupaten/kota, meski daerah-daerah tersebut telah secara resmi mengajukan rekomendasi melalui bupati dan wali kota. Salah satu daerah yang “dihilangkan” dari Surat Keputusan Gubernur adalah Kabupaten Purwakarta wilayah yang dikenal sebagai salah satu jantung kawasan industri terbesar di Jawa Barat.
Tak berhenti di situ, penetapan UMSK 2026 juga disebut-sebut mengalami pemangkasan nilai dan sektor secara signifikan di 12 kabupaten/kota lainnya. Artinya, dari 19 daerah yang mengajukan UMSK, hanya sebagian yang “selamat”, itupun dengan nilai yang dianggap jauh dari rasa keadilan buruh.
Ironisnya, pencoretan tujuh daerah itu dibungkus dengan dalih klasik, “tidak ada rekomendasi”. Dalih yang justru memantik kecurigaan, karena rekomendasi tersebut secara administratif telah dikirimkan dan diketahui publik. Bagi buruh, ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bentuk pengabaian terhadap proses dan aspirasi daerah.
Akibat kekisruhan tersebut, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama seluruh federasinya termasuk Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) memutuskan untuk mengambil langkah tegas. Aksi unjuk rasa besar-besaran akan digelar selama dua hari, Senin–Selasa (29–30 Desember 2025), dengan tujuan akhir Istana Negara.
Berbeda dari aksi biasa, ribuan buruh akan bergerak menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Diperkirakan 15.000 hingga 20.000 motor akan memadati jalan lintas kabupaten dan provinsi di Jawa Barat, menjadikan aksi ini sebagai salah satu konvoi buruh terbesar di akhir tahun.
Selain menuntut penetapan UMSK 2026 sesuai rekomendasi kabupaten/kota di Jawa Barat, massa aksi juga membawa tuntutan nasional lainnya, yakni penolakan terhadap UMP DKI Jakarta yang dinilai murah dan tidak mencerminkan biaya hidup layak.
Di tengah tekanan publik dan gelombang protes buruh, Gubernur Jawa Barat dikabarkan telah mengumpulkan jajaran dinas terkait, mulai dari para bupati, dinas ketenagakerjaan, hingga anggota dewan pengupahan. Forum tersebut membahas kekisruhan UMSK 2026, dan dari informasi yang beredar, KDM disebut-sebut akan merevisi SK penetapan UMSK Jawa Barat.
Namun bagi buruh, janji tanpa dokumen hanyalah angin lalu.
Ketua FSPMI Purwakarta, Fuad BM, menegaskan bahwa hingga kini belum ada kepastian nyata terkait UMSK 2026 sesuai rekomendasi daerah. “Karena belum ada kepastian UMSK 2026 sesuai rekomendasi bupati atau wali kota di Jawa Barat, sikap kami jelas yakni aksi jalan terus pokoknya,” tegas Fuad.
Nada serupa disampaikan Ade Supyani, Sekretaris KC FSPMI Purwakarta, yang menyebut klaim bahwa persoalan UMSK sudah selesai belum bisa dipercaya.
“Iya, kita belum lihat wujudnya seperti apa yang dibilang selesai itu,” ujarnya singkat namun tajam.
Sementara itu, Panglima Koordinator Nasional (Pangkornas) Garda Metal FSPMI, Supriyadi ‘Piyong’, telah menginstruksikan seluruh anggotanya untuk mengamankan jalannya aksi secara maksimal. Garda Metal dipastikan akan berada di garis depan, menjaga kedisiplinan massa sekaligus memastikan tuntutan buruh tersampaikan dengan tegas dan terarah.
Bagi buruh Purwakarta dan Jawa Barat, UMSK adalah soal kepastian hidup, pengakuan terhadap kawasan industri, dan penghormatan terhadap mekanisme rekomendasi daerah. Ketika rekomendasi dicoret begitu saja, yang terluka bukan hanya buruh, tetapi juga kewibawaan pemerintah daerah.
Kini, ribuan motor bersiap meraung di jalan raya. Pesannya jelas. Jika UMSK digantung di udara, maka jalanan akan dipenuhi suara perlawanan.
Dan bagi buruh Purwakarta, satu hal sudah final. Sebelum ada kepastian, aksi tidak akan berhenti.