Pasuruan, KPonline – Di tengah carut-marut penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, satu kenyataan menyakitkan terus mencuat: disparitas upah di negeri ini semakin lebar, sementara beban hidup buruh kian menindih tanpa jeda. Perdebatan soal berapa besar kenaikan UMP tahun depan berubah menjadi drama yang menyesakkan dada, karena di lapangan jutaan buruh merasakan realita yang jauh dari adil.
Namun bukan hanya upah yang menjadi duri. Problem pajak kembali menjadi momok menakutkan yang menggerogoti kesejahteraan buruh Indonesia.
Bagaimana tidak?
Uang hasil kerja lembur, keringat ekstra yang diteteskan saat tubuh sudah letih, justru harus direlakan untuk membayar pajak PPh 21. Hak menikmati jerih payah sendiri seolah dipotong perlahan, seakan negara menagih dari kantong yang bahkan belum penuh.
Para buruh mempertanyakan: Jika UMP 2026 dinaikkan, mengapa batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tidak ikut disesuaikan?
Saat biaya hidup melonjak, harga pangan merangkak, dan ongkos transportasi naik tanpa kompromi, PTKP masih bertahan di angka 4,5 juta, angka yang sudah lama tak relevan dengan realitas ekonomi hari ini.
Tuntutan buruh pun mengerucut: jika pemerintah serius memperbaiki kesejahteraan, maka PTKP harus naik minimal dari 4,5 juta menjadi 10.
Baru dengan itu buruh bisa bernapas lebih panjang, tanpa rasa takut setiap kali slip gaji dibuka dan potongan pajak kembali mencabik harapan.
Kenaikan UMP tanpa revisi PTKP hanyalah ilusi kesejahteraan, kosmetik kebijakan yang tampak manis tetapi kosong di dalamnya.
Sementara itu, di banyak pabrik dan kantor, buruh masih menunduk sambil menghitung rupiah demi rupiah, bertanya pada dirinya sendiri: Sampai kapan kerja keras harus dibayar dengan ketidakpastian?
Dalam situasi seperti inilah, suara buruh semakin nyaring: mereka tak menuntut kemewahan, hanya keadilan. Dan keadilan itu, hari ini, masih jauh dari jangkauan.
(Tim Media PUK JAI)



