Jakarta, KPonline-Pemerintah pusat resmi mengubah arah kebijakan pengupahan nasional. Setelah UMP 2025 ditetapkan serentak dengan kenaikan 6,5% dan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, kini pemerintah memilih mundur selangkah. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 tidak akan lagi ditetapkan secara terpusat.
Sebaliknya, keputusan penuh diserahkan kepada daerah.
Langkah ini disebut pemerintah sebagai “penyesuaian regulatif”. Namun di mata publik dan kalangan pekerja, keputusan ini ditafsirkan sebagai sinyal ketidakpastian baru yang mengintai jutaan buruh dari Sabang sampai Merauke.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menegaskan bahwa pemerintah sedang menyusun payung hukum baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) khusus pengupahan. Salah satu poin paling krusial yaitu penetapan UMP tidak lagi menggunakan satu angka tunggal.
“Jadi tidak dalam satu angka, karena kalau satu angka berarti disparitasnya tetap terjadi,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kemenaker, Kamis (20/11/2025).
Pemerintah mengakui bahwa ada ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Karena itu, daerah dengan pertumbuhan tinggi “dipersilakan” menetapkan kenaikan lebih besar, sementara daerah yang ekonominya lesu dapat menetapkan kenaikan lebih rendah.
Di titik inilah kritik mulai berdatangan, dimana ketika daerah diberi ruang lebar tanpa mekanisme pengaman yang ketat, risiko terjadinya race to the bottom atau tarik-menarik upah terendah demi menarik investasi menjadi semakin nyata.
Yassierli menegaskan bahwa sesuai Putusan MK, Dewan Pengupahan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan memiliki peran yang jauh lebih besar.
“Dewan pengupahan daerah diberi kewenangan lebih,” tegasnya.
Tidak ada lagi angka dari pusat. Tidak ada lagi pengumuman serentak. Semua diserahkan ke masing-masing kepala daerah.
Pemerintah pusat hanya membuat kerangka PP. Sisanya kepala daerah yang memutuskan, mengumumkan, dan tentu saja siap menjadi sorotan kelompok buruh maupun dunia usaha.
Senada dengan hal yang sama, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri, menjelaskan mekanisme teknis penetapan UMP 2026.
“Mekanismenya dewan pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota yang merumuskan, kemudian direkomendasikan ke Gubernur. Nah gubernur yang menetapkan.”
Rumus penetapan UMP tidak berubah: inflasi + pertumbuhan ekonomi + alpha.
Tetapi alpha, yang mencerminkan kontribusi buruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kini akan diubah.
Jika sebelumnya alpha berada di rentang 0,10 – 0,30, maka ke depan akan diperluas atau dinaikkan. Namun Indah masih menutup rapat angka pastinya.
Yang jelas, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah menambahkan unsur Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penyesuaian alpha tersebut.
“Rumusnya sama. Hanya saja alpha-nya harus ada adjustment, yaitu mempertimbangkan KHL. Di situlah bedanya”.
Dengan tidak adanya lagi angka tunggal dari pusat, 38 provinsi akan menjadi 38 arena politik pengupahan baru.
Gubernur akan menjadi aktor utama.
Dewan Pengupahan daerah akan menjadi penentu nasib jutaan keluarga buruh.
Singkatnya, keputusan pemerintah untuk tidak lagi menetapkan UMP 2026 secara terpusat adalah perubahan besar. Diatas kertas, ini tampak sebagai desentralisasi. Dilapangan, ini bisa berubah menjadi desentralisasi ketimpangan.
Ketika upah minimum tidak lagi ditetapkan pemerintah pusat, maka yang terjadi bukan hanya perubahan teknis. Tetapi perubahan peta kekuatan, perubahan dinamika politik, dan perubahan nasib jutaan pekerja yang menggantungkan hidup pada satu angka bernama “UMP”.