Medan,KPonline, – Kenaikan Upah Minimum baik Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten (UMK), maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK), hampir setiap tahun menjadi sumber perdebatan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Polemik yang berulang ini menggambarkan betapa persoalan upah masih menjadi luka lama yang belum sembuh dalam relasi industrial di Indonesia.
Tuntutan kenaikan Upah Minimum Tahun 2026 sebesar 10,5% dari Upah Minimum Tahun 2025 yang diajukan oleh koalisi serikat buruh, sejatinya belum mampu memenuhi 64 Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KKHL) — ukuran dasar untuk menjamin kehidupan buruh yang manusiawi, wajar, dan bermartabat.
Kenaikan upah yang selama ini ditetapkan melalui formula yang mengacu pada tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 atas uji materi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, terbukti belum menjawab realitas beban hidup buruh yang semakin berat dari waktu ke waktu.
Seharusnya, kenaikan upah minimum harus disesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhan dasar poko hidup buruh, sebagaimana tercermin dalam 64 KKHL.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kenaikan 10,5% masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan laju peningkatan harga bahan dasar pokok kebutuhan hidup, seperti biaya sewa rumah, transportasi, pendidikan, layanan kesehatan, hingga kebutuhan sandang dan pangan yang terus melonjak.
Pemerintah sebagai penengah antara kepentingan buruh dan pengusaha harus meihat dengan jernih dan bersikap bijaksana, bahwa perhitungan upah minimun peruntukannya kepada buruh dengan status lajang (tanpa batih, istri dan anak). Akibatnya, buruh yang sudah berkeluarga harus memikul beban ekonomi berlipat, sementara pendapatannya stagnan. Bekerja penuh waktu, namun tetap hidup dalam kekurangan, menjadi kenyataan pahit yang dialami jutaan buruh di negeri ini.
Di sisi lain, upah riil buruh terus tergerus akibat inflasi, sementara produktivitas kerja terus ditingkatkan demi menjaga margin keuntungan perusahaan. Ketimpangan ini menegaskan bahwa kesejahteraan buruh belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi nasional.
Kenaikan upah sebesar 10,5% bukanlah angka kemewahan, melainkan langkah minimal untuk menutup jurang yang semakin lebar antara pendapatan buruh dan kebutuhan hidup nyata. Pemerintah dan pengusaha sering beralasan bahwa kenaikan upah akan membebani biaya produksi, namun kenyataannya, beban hidup buruh jauh lebih berat daripada beban yang mereka jadikan alasan.
Buruh bukan sekadar angka dalam neraca keuangan perusahaan. Mereka adalah subjek pembangunan ekonomi, sumber nilai tambah, dan penopang produktivitas nasional. Tanpa tenaga dan keringat buruh, tidak ada keuntungan yang dapat dibagi, dan tidak ada pertumbuhan ekonomi yang bisa dibanggakan.
Karena itu, perjuangan serikat buruh untuk kenaikan upah bukan semata-mata soal nominal angka, melainkan tentang pengakuan atas martabat, keadilan sosial, dan hak hidup layak. Kenaikan 10,5% hanyalah koreksi kecil atas ketimpangan besar yang telah dibiarkan terlalu lama.
Jika negara sungguh berpihak pada rakyat, utamanya kaum buruh, maka pemenuhan penuh terhadap 64 Komponen Kebutuhan Hidup Layak harus dijadikan standar minimum, bukan sekadar cita-cita yang terus ditunda
Rumus perhitungan kenaikan upah minimum tidak seharusnya ditentukan secara elitis di atas meja dengan hanya mengandalkan parameter tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks-indeks tertentu. Penetapan dan perhitungan kenaikan upah minimum wajib didasarkan pada riset lapangan dan survei harga komponen kebutuhan hidup layak (64 KKHL) di pasar-pasar tradisional secara langsung oleh Dewan Pengupahan.
Apabila tuntutan kenaikan upah sebesar 10,5% yang disampaikan oleh koalisi serikat buruh dan partai buruh, diabaikan oleh pemerintah, maka mogok kerja nasional yang rencananya akan dilakukan, merupakan konsekuensi yang wajar dan sangat pantas dilakukan sebagai bentuk perjuangan untuk keadilan ekonomi dan kemanusiaan. (Anto Bangun)