Purwakarta, KPonline – Seperti fajar pagi, saat mentari menyinari bumi yang menghangatkan raga selepas rembulan kembali ke singgasananya dan itulah realita tuntutan kenaikan upah minimum 2026 yang terus dimunculkan oleh rakyat pekerja kepermukaan.
Dalam beberapa pekan terakhir, seruan kaum buruh untuk penyesuaian upah minimum 2026 dengan angka kenaikan 8,5 hingga 10,5 persen terus menguat dan menghangat. Melalui konsolidasi organisasi, aksi demontrasi bahkan ancaman pemogokan, serikat pekerja telah menegaskan kembali bahwa kenaikan upah bukan sekadar tuntutan periodik, tetapi bagian dari upaya menghadirkan keadilan ekonomi di tengah ketimpangan yang masih terasa tebal.
Bagi buruh, upah adalah urat nadi dan denyut kehidupan. Di balik nominal yang terus diperdebatkan, ada cerita tentang biaya sekolah anak, harga sembako yang merangkak, cicilan rumah, transportasi, hingga kebutuhan dasar untuk tetap hidup bermartabat.
“Upah harus mencerminkan kebutuhan nyata pekerja dan keluarganya. Ketika harga kebutuhan hidup meningkat, maka upah harus mengikuti untuk menjaga daya beli,” demikian pandangan yang banyak disuarakan.
Namun dalam debat tahunan mengenai upah minimum, realita sosial sering kali tertutup angka-angka teknis. Formula ekonomi diperdebatkan, indikator makro dijelaskan panjang lebar, sementara kenyataan dapur rumah tangga kerap tertinggal di belakang.
Buruh menegaskan bahwa kesejahteraan tak bisa hanya dimaknai melalui grafik pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan adalah soal martabat dan kepastian hidup layak bagi mereka beserta keluarganya dirumah.
Pemerintah dan pengusaha kini memiliki pekerjaan rumah besar. Dimana mereka harus bisa menghadirkan ruang dialog yang sehat dan seimbang. Ketika buruh menggaungkan suara, mereka bukan tengah menciptakan kegaduhan. Mereka sedang mengetuk pintu keadilan sosial, mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dinikmati segelintir pihak.
Kembali ke prinsip dasar, hubungan industrial yang harmonis hanya dapat terjadi dan lahir ketika setiap pihak merasa dihargai dan kebutuhan mereka diakui. Buruh ingin hidup layak. Pengusaha pasti menginginkan untung besar. Pemerintah berkepentingan menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.
Tantangannya adalah menemukan titik temu. Dan titik temu itu dimulai dengan kesediaan mendengarkan.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik, gerakan pekerja semakin matang. Bukan hanya turun ke jalan, mereka juga memperkuat riset, memperbaiki strategi advokasi, serta menyampaikan argumen berbasis data.
Dengan langkah yang semakin solid, mereka ingin meyakinkan bahwa tuntutan upah bukan ancaman ekonomi, melainkan investasi untuk stabilitas sosial dan peningkatan daya beli masyarakat, dua faktor penting dalam memutar roda pertumbuhan nasional.
Ketika fajar tiba, ia membawa terang, bukan panas. Begitu pula tuntutan upah: datang bukan untuk membakar, melainkan untuk menghangatkan kehidupan pekerja dan keluarganya dalam lingkaran ekonomi yang lebih manusiawi.
Kenaikan upah adalah denyut dari kehidupan yang berharga. Ia bukan hanya tentang rupiah, tetapi tentang ruang hidup yang layak bagi buruh yang setiap hari menjadi tulang punggung keberlangsungan industri dan pembangunan.