Tuntut Kenaikan Upah Minimum 2026 Hingga 10,5 Persen: KSPI Siap Guncang 300 Kabupaten/Kota

Tuntut Kenaikan Upah Minimum 2026 Hingga 10,5 Persen: KSPI Siap Guncang 300 Kabupaten/Kota
Media Perdjoeangan | Foto by Muazim Hidayat

Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh mengumumkan akan menggelar aksi besar-besaran secara nasional untuk menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5%. Mobilisasi puluhan ribu buruh ini akan berlangsung serentak di 300 kabupaten/kota di 38 provinsi mulai 23 Oktober hingga 31 Desember 2025, dan berpuncak pada aksi nasional pada 30 Oktober 2025.

Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa tuntutan ini bukan sekadar keinginan subjektif, melainkan berdasarkan landasan hukum yang kuat yakni Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2024. Dalam putusan itu, MK menegaskan formula penghitungan upah minimum harus mengacu pada inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL).

“Permintaan 8,5 persen tidak mengada-ada. Ini hasil perhitungan berdasarkan hukum dan data resmi BPS, bukan akal-akalan,” tegas Said Iqbal dalam keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

Menurut Iqbal, data Badan Pusat Statistik (BPS) dari periode Oktober 2024 hingga September 2025 menunjukkan inflasi sebesar 2,65% dan pertumbuhan ekonomi 5,12%. Jika ditambahkan indeks tertentu di kisaran 1,0–1,4, maka formula kenaikan upah yang sah secara hukum berkisar di angka 8%. Karena itu, KSPI dan Partai Buruh mengajukan rentang 8,5%–10,5% sebagai bentuk ruang negosiasi yang realistis antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

Aksi serentak di seluruh Indonesia ini disebut akan menjadi gelombang mobilisasi buruh terbesar menjelang akhir tahun 2025. Ribuan anggota dari berbagai federasi di bawah KSPI dan jaringan Partai Buruh akan turun ke jalan dengan mengenakan atribut serikat masing-masing, menggelar orasi, long march, hingga aksi teatrikal di depan kantor-kantor pemerintahan daerah.

KSPI memastikan seluruh aksi dijalankan secara damai, tertib, konstitusional, dan bertanggung jawab.

“Seluruh aksi ini akan dilakukan secara damai, tertib, konstitusional dan bertanggung jawab. Aksi buruh anti kekerasan dan anti anarkisme,”
ujar Iqbal menegaskan.

Ia juga menjelaskan bahwa gerakan ini merupakan kelanjutan dari strategi perjuangan “KLAP” – Konsep, Lobi, Aksi, dan Politik, yang selama ini menjadi ciri khas KSPI dan Partai Buruh dalam memperjuangkan nasib rakyat pekerja. Setelah upaya dialog dan lobi formal tak menghasilkan kemajuan berarti, kini giliran aksi menjadi bahasa perjuangan yang nyata.

Kemudian, selain isu kenaikan upah minimum 2026, KSPI dan Partai Buruh juga membawa tuntutan struktural yang lebih luas dalam agenda perjuangan kali ini. Beberapa poin utama yang akan disuarakan antara lain:

1. Pemisahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Serikat menilai penyatuan berbagai pasal ketenagakerjaan dalam Omnibus Law justru menghilangkan perlindungan dasar bagi buruh.

2. Reformulasi sistem pengupahan nasional.

KSPI menuntut agar sistem upah kembali mempertimbangkan upah minimum sektoral (UMSK) dan standar kebutuhan hidup layak (KHL), bukan hanya formula ekonomi makro.

3. Penghapusan sistem outsourcing dan status ‘mitra kerja’.

Dua sistem tersebut dinilai menjerumuskan pekerja ke dalam situasi kerja yang tidak pasti dan tanpa jaminan sosial.

“Buruh tidak menolak investasi, tetapi menolak eksploitasi. Kami ingin sistem kerja yang adil, bukan status mitra yang hanya menguntungkan perusahaan,” tegas Iqbal.

Aksi yang dijadwalkan hingga penghujung tahun ini diyakini akan memberi tekanan politik signifikan menjelang penetapan upah minimum oleh pemerintah daerah dan pusat pada November–Desember 2025. KSPI dan Partai Buruh berharap agar pemerintah daerah berani menentukan kenaikan upah minimum 2026 di atas 8,5%, sesuai dengan amanat konstitusi dan kondisi riil pekerja.

Alhasil, sejumlah pengamat menilai, langkah KSPI dan Partai Buruh kali ini bukan hanya perjuangan upah, melainkan penguatan konsolidasi politik kelas pekerja menjelang tahun-tahun politik berikutnya. Dengan Partai Buruh sebagai wadah politik resmi, aksi-aksi buruh kini memiliki kanal advokasi yang lebih sistematis.

“Ini bukan sekadar unjuk rasa, tapi ekspresi demokrasi kelas pekerja yang menuntut keadilan ekonomi,”
ujar Iqbal menambahkan.

Menurut KSPI, kenaikan upah minimum bukan hanya soal kesejahteraan buruh, tetapi juga soal daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. Upah yang stagnan selama beberapa tahun terakhir menyebabkan konsumsi rumah tangga melemah, yang justru menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi.

“Ketika upah naik, daya beli meningkat, konsumsi tumbuh, dan ekonomi bergerak. Itu sebabnya tuntutan ini bukan hanya untuk buruh, tapi untuk kepentingan bangsa,” ujar Iqbal.

KSPI juga menegaskan bahwa Putusan MK 168/PUU-XXI/2024 telah membuka kembali ruang keadilan bagi pekerja dengan mengembalikan formula penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak. Karena itu, perjuangan kali ini disebut sebagai “gelombang kebangkitan hukum dan ekonomi buruh Indonesia.”

Menjelang puncak aksi nasional pada 30 Oktober 2025, KSPI dan Partai Buruh tengah mematangkan konsolidasi dengan seluruh Pimpinan Unit Kerja (PUK), federasi, serta jaringan organisasi di tingkat daerah. Aksi puncak ini akan dipusatkan di Jakarta, dengan ribuan buruh dari Jabodetabek, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Serang, hingga Bandung diperkirakan akan memadati kawasan Patung Kuda dan depan Istana Negara.

Dengan strategi yang terkonsep serta ditambah semangat yang konsisten, KSPI dan Partai Buruh kembali menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan semata-mata soal angka, tetapi soal martabat dan keadilan sosial bagi seluruh pekerja Indonesia.

“Kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5% adalah hak buruh yang dijamin konstitusi. Dan kami akan memperjuangkannya sampai berhasil,” pungkas Said Iqbal.