Malaysia, KPonline – Pada 15 Juli 2025, seorang pekerja migran Indonesia dikeroyok di Bangsar, Malaysia oleh sekelompok pekerja asal Bangladesh. Insiden ini, yang terekam dalam video viral, mengguncang hati banyak orang dan memunculkan pertanyaan: mengapa pekerja migran Indonesia terus menjadi korban? Wahyu Hidayat, aktifis buruh dan pendiri Spirit Binokasih menyerukan penanganan serius, transparan, dan berkeadilan untuk kasus ini, serta langkah konkret agar tragedi serupa tidak terulang kembali.
Data menunjukkan bahwa pekerja migran Indonesia menghadapi risiko besar. Menurut BP2MI, pada 2024, terdapat 4,8 juta pekerja migran Indonesia di seluruh dunia, dengan Malaysia sebagai tujuan utama (sekitar 1,2 juta orang). Namun, laporan Migrant Care mencatat bahwa 60% dari mereka bekerja tanpa dokumen resmi, membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Tragedi Bangsar adalah bukti nyata dari ancaman yang dihadapi pekerja migran, baik dari konflik antarpekerja maupun dari sistem yang gagal melindungi mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi berbasis data dan terkoordinasi. Pertama, pemerintah Indonesia harus memperkuat kerja sama bilateral dengan Malaysia. Nota Kesepahaman (MoU) tentang perlindungan pekerja migran, yang pernah dibahas pada 2021, perlu diperbarui dengan klausul yang jelas tentang keselamatan dan penegakan hukum. Kedua, BP2MI harus meningkatkan program pelatihan dan penempatan legal, mengingat 70% pekerja migran ilegal masuk melalui jalur tidak resmi seperti Kepulauan Riau, yang sering melibatkan sindikat perdagangan manusia. Ketiga, teknologi dapat dimanfaatkan untuk memantau kondisi pekerja migran, seperti aplikasi pelaporan darurat yang terhubung dengan kedutaan/konsulat jenderal.
Selain itu, pemerintah perlu mendirikan trauma center khusus untuk pekerja migran, seperti yang telah dilakukan untuk korban TPPO di Kamboja. Data dari Kementerian Sosial menunjukkan bahwa trauma center di Pondok Gede telah membantu 699 korban TPPO pada 2025, membuktikan efektivitas pendekatan ini. Keempat, edukasi keselamatan kerja harus ditingkatkan, baik untuk pekerja migran maupun majikan di Malaysia, untuk mengurangi konflik seperti yang terjadi di Bangsar. Terakhir, transparansi dalam penyelidikan kasus ini harus dipastikan, dengan laporan berkala kepada publik untuk membangun kepercayaan.
Pekerja migran adalah pahlawan devisa; sudah saatnya mereka mendapatkan perlindungan yang layak. Keamanan pekerja migran Indonesia harus benar-benar diperhatikan. Kita harus menuntut akuntabilitas, mendorong perlindungan yang lebih baik, dan memastikan tragedi seperti ini tidak terulang kembali.