Tolak Mitra, Jadikan Ojol Sebagai Pekerja

Tolak Mitra, Jadikan Ojol Sebagai Pekerja

Oleh : Roni Febrianto,ST, M.Fil

 

Pendahuluan

Banyak pekerja di seluruh dunia terlibat pekerjaan platform dalam berbagai bentuk, mencakup layanan taksi online dan pengiriman barang, pekerjaan rumah tangga online, pekerjaan logistik yang menghubungkan orang dengan layanan dan barang, Sebagian besar perusahaan platform berpendapat bahwa, mereka tidak boleh dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, termasuk yang mengatur upah layak, kesehatan dan keselamatan kerja, atau perlindungan sosial. Akibatnya, jutaan pekerja direduksi menjadi komoditas di bawah model bisnis yang membayar rendah, mengeksploitasi, salah mengklasifikasikan, dan mengecualikan mereka dari perlindungan ketenagakerjaan yang ada. Ini adalah salah satu bentuk perbudakan modern baru yang wajib dilawan oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh di seluruh dunia baik ditingkat nasional dan internasional. Serikat Pekerja salah satunya SPDT FSPMI yang berafiliasi pada KSPI ditingkat nasional dan ITF serta ITUC ditingkat Internasional sedang terus memperjuangkan status hubungan kerja dari mitra menjadi pekerja baik untuk Ojek Online roda dua dan roda empat agar ada: kepastian hukum status pekerja bukan sebagai mitra, kepastian atas upah/ pendapatan yang layak dan Tunjangan Hari Raya (THR) bukan BHR, akses atas Jaminan Sosial (BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan), perlindungan atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), keberlanjutan atas pekerjaan, Jaminan Kebebasan Berserikat dan Berunding bersama melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hal tersebut perlu segera dilakukan karena meskipun pekerjaan platform dapat menawarkan peluang pendapatan bagi kelompok rentan, pekerjaan ini sering kali menjebak pekerja yang terpinggirkan dalam kondisi kerja yang buruk, membatasi mobilitas ke atas, dan melanggengkan atau memperdalam ketidaksetaraan dan ekspoitasi atas para pekerja platform. Serikat Pekerja di tingkat nasional  khususnya SPDT FSPMI, berkampanye untuk mengamanatkan standar sekuat mungkin di Organisasi Perburuhan Internasional (ILO): Konvensi yang mengikat, disertai dengan Rekomendasi.[1]

Kondisi Carut Marut pekerja platform

Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) Indonesia termasuk adalam daftrar 15 negara yang memiliki jumlah pekerja platform terbanyak didunia. Prosentase porsi pekerja pratform terhadap total pekerja Indonesia sudah mencapai kurang lebih 1,5 persen. Berdasarkan laporan ILO yang berjudul “Realizing Decent Work in The Platform Economy” menyoroti kegiatan ekonomi yang dihasilkan dari platform teknologi merupakan salah satu industri yang menimbulkan permasalah kerja layak yang serius. Misalnya dugaan akses Jaminan Sosial yang rendah, dan pengelolaan tenaga kerja manusia yang dominan berbasis algoritma. Dalam laporan ILO yang mempunyai porsi jumlah pekerja platform ekonomi terbanyak di dunia berturut-turut yaitu India (26,9 persen), diikuti Bangladesh (14,62 persen), Pakistan (12,05 persen), Amerika Serikat (5,59 persen), Inggris (3,83 persen), Filipina (3,33 persen), lalu Ukraina (2,62 persen). Kemudian, Rusia (2,57 persen), Mesir (1,79 persen), Indonesia (1,52 persen), China (1,42 persen), Serbia (1,37 persen), Sri Langka (1,13 persen), Kanada (1,07 persen), dan Kenya (1,01 persen).[2] Research Officer Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada Arifatus Sholekhah berpendapat, orang - orang yang bekerja untuk platform teknologi kerap kali merasa lebih fleksibel alias tidak terikat jam kerja yang ketat. Akan tetapi, fleksibilitas ini yang kerap kali disalahgunakan oleh perusahaan platform untuk mengeksploitasi. Misalnya, akses terhadap kepesertaan jaminan sosial tidak diberikan oleh perusahaan platform.

Sejak beberapa waktu lalu, isu ketenagakerjaan di industri digital mulai disorot. Di negara lain, isu ini diawali dengan masalah hak-hak pekerja yang berujung pada keinginan mereka di sejumlah perusahaan teknologi untuk membentuk serikat pekerja.Masalah mereka, terutama yang berada di negara dengan aturan tenaga kerja yang minim, semakin berat karena nyaris tanpa perlindungan formal. Melihat jumlah pekerja yang bergantung pada industri digital itu tinggi, maka tuntutan akan memunculkan masalah. Mereka pasti akan meminta perlindungan yang memadai dan tentu penghasilan yang makin layak. Mereka terkena dampak kenaikan harga kebutuha pokok sehingga kenaikan pendapatan harus menyertai mereka. Masalahnya, perusahaan teknologi tidak memiliki dana tunai yang memadai. Mereka masih merugi, sementara kenaikan harga layanan masih sulit dilakukan. Perusahaan teknologi kini di simpang jalan.[3]

Aksi Demo para pekerja ojek online makin marak belakangan  ini dengan tututan kejelasan atas status hukum dan pemberian upah/penadapatan termasuk THR yang tidak diberiakan secara adil dan layak. Aksi dilakukan bukan hanya di Jakarta tapi di Sukabumi, Dumai, Pontianak dan Pangkal Pinang.  Sistem fleksibilitas dalam kemitraan adalah dalih platform untuk menghindar dari kewajiban membayar THR dan hak-hak pekerja kepada pengemudi ojol, taksol dan kurir. Padahal pengemudi ojol jelas telah memberi kontribusi yang signifikan bagi ekonomi. “Bisnis platform sangat diuntungkan dengan super profit yang tinggi dengan mengorbankan kesejahteraan pengemudi ojol,”[4] Negara wajib hadir dan memberikan perlindungan bagi para pekerja ojol, taksi online dan kurir online agar tidak terjadi eksploitasi  pada para pekerja dengan aturan hukum yang tegas. Para pekerja dipaksa terus-menerus bekerja tanpa istirahat melebihi ketetapan jam kerja 8 jam kerja tapi para pekerjanya tidak mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan sosial dan keselamatan saat bekerja. Pengemudi ojol terpaksa bekerja 17 jam bahkan lebih diakibatkan karena upah (pendapatan) per orderan yang tidak pasti dari hasil perhitungan algoritma platform yang sepihak menguntungkan platform.

Lanjutkan Perjuangan menuntut Kesejahteraan

SPDT-FSPMI bersama Serikat Pekerja/ Serikat Buruh lainnya ditingkatan nasional dan internasional akan melanjutkan lagi perjuangan menuntut kesejahteraan dan kesetaraan serta menghentikan eksploitasai atas para pekerja online melalui kampanye selama 3 (tiga) bulan dari bulan April sampai Juni 2025. Perjuangan dilakukan dengan strategi Konsep-Lobby dan Aksi secara terus menerus dalam dua tahun sampai tahun 2026. Perjuangan di tingkat nasional akan dilakukan dengan menuntut disahkannya Undang Undang Ketenagakerjaan baru dengan mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk melindungi para pekerja online dari tindakan eksploitasi oleh para pemilik bisnis plat form yang sudah super kaya. SPDT-FSPMI mengajak para pekerja online untuk bergabung dan berpartisipasi aktif dalam kampaye selama 3 (tiga) bulan dan terus berlanjut sampai tahun 2026 juga mengajak bergabung menjadi anggota Serikat Pekerja sebagai alat perjuangan para pekerja agar terus bisa menyuarakan kesejahteraan para pekerja online ditingkat nasional dan internasional secara berkelanjutan.

Tuntutan jangka pendek adalah menolak status Mitra dan menuntus status sebagai Pekerja karena pada dasarnya para pekerja online memiliki 3 syarat dasar yaitu: Hubungan Kerja, Perintah Kerja dan Upah sesuai dengan ketentuan umum yang ada di Undang Undang Ketenagakerjaan. SPDT-FSPMI mengajak para pekerja online untuk bergerak terus berbarengan menuntuk kesejahteraan agar kerakusan para bisnis platform yang sudah diluar batas kemanusiaan. Salam Solidaritas tanpa batas.

 

 

 

[1] https://www.ituc-csi.org/platform-work (diakses 21 April 2025)

 

 

[2] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/08/indonesia-masuk-negara-yang-memiliki-pekerja-platform-daring-terbanyak (diakses 21 April 2025)

[3] https://v1.labirin.id/news/41469/ancaman-pekerja-platform (diakses 21 April 2025)

[4] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20250216181203-37-611062/driver-ojol-besok-demo-besar-besaran-di-jakarta-setop-narik-penumpang (diakses 21 April 2025 )