Oleh : Roni Febrianto, ST, M.Fil
Pendahuluan
Kemitraan dalam industri transportasi dan kurir online seperti di Gojek, Grab, Maxim, Shopee Ekspress, dan perusahaan platform sejenis di Indonesia, bersifat semu. Alih-alih menciptakan kebebasan dan kemerdekaan bagi pengemudi Ojek online (Ojol), hubungan kemitraan justru membuat para mitra atau pekerja gig (pekerja lepas atau sementara) mendapatkan hubungan kerja yang super-eksploitatif. Sejatinya kemitraan adalah hubungan yang setara dan adil antara dua atau lebih pihak untuk bekerja sama dalam hal tertentu atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Para pengemudi ojek online diklasifikasikan sebagai “mitra” oleh perusahaan platform, namun mereka tidak memperoleh hak-hak sebagai mitra. Status “mitra” dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari pemberian jaminan upah layak, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak. Penelitian di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada dengan judul Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja “Mitra” Industri Transportasi Online tahun lalu mengupas fenomena ini.[1]
Kemitraan palsu
Dalam penelitian oleh IGPA- UGM dengan mewawancara secara mendalam 290 tukang ojek online (Ojek roda dua dan juga roda empat) di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020, ada empat hal yang menyebabkan hubungan kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan seperti Gojek, Grab, hingga Maxim itu palsu sebagai berikut:
- Semua keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform.
Pengemudi Ojol tidak memiliki hak bersuara dalam proses mengambil keputusan yang seharusnya mereka peroleh sebagai mitra. Keputusan tentang penentuan tarif, sanksi, bonus, orderan, algoritme, dan mekanisme kerja dalam kemitraan diputuskan sepihak oleh perusahaan, tanpa ada ruang bersuara bagi pengemi Ojol.
- Perusahaan mengontrol proses kerja dari ojol.
Konsep kemitraan diklaim oleh perusahaan aplikasi dapat mendorong model kerja yang memberi kebebasan hingga kemerdekaan pada mereka yang bermitra untuk menentukan waktu kerja dan menjadi tidak terikat. Fungsi kontrol digunakan untuk mendisiplinkan ojol, sehingga mereka harus kerja lebih disiplin, lebih lama, dan lebih berat lagi. Kontrol kerja dari perusahaan kepada pengemudi Ojol dilakukan melalui tiga cara: sanksi, penilaian konsumen, dan bonus. Perusahaan aplikasi memberikan sanksi ketika pengemudi Ojol dinilai oleh sistem perusahaan bekerja dengan malas atau tidak disiplin, sehingga akunnya dibuat sepi order atau dihukum tidak dapat membuka akun aplikasi beberapa saat, hingga dapat diputus kemitraannya. Perusahaan aplikasi membuat penilaian konsumen sebagai acuan untuk menertibkan pengemudi Ojol. Dengan penilaian konsumen, perusahaan platform menerapkan standar kualitas layanan. Persoalan muncul ketika penilaian konsumen ditempatkan sebagai sesuatu yang fundamental, walau tanpa ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tanpa mendengar klarifikasi dari pengemudi Ojol. Kontrol terhadap proses kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan ini, maka janji pekerjaan yang layak dan fleksibel tidak diperoleh.
- Perusahaan memonopoli akses informasi dan data.
Data yang terkumpul di perusahaan platform, merupakan hasil akumulasi informasi dari kerja Ojol. Status mitra tidak lantas membuat pengemudi Ojol dapat mengakses informasi dan data di perusahaan platform. Akses informasi sengaja ditutup oleh perusahaan platform, bahkan bagi peneliti dan pemerintah. Ketiadaan akses dan kendali atas data yang kemudian diatur oleh sistem algoritma, menjauhkan Ojol dari informasi tentang bagaimana tata kelola yang seharusnya dilakukan untuk saling menguntungkan dalam hubungan kemitraan.
- Hubungan kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia.
Tiga praktik hubungan kerja antara perusahaan platform dan pengemudi Ojol di atas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan UU tersebut yang mengatur tentang kemitraan. Dalam penelitian, praktik kemitraan yang berjalan tidak menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yaitu saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, seperti aturan dalam Pasal 1 Ayat 13 UU 20 Tahun 2008. Itu terjadi karena adanya hubungan yang tidak setara dan memunculkan dominasi perusahaan platform pada pengemudi Ojol. Kedudukan para pihak dalam perjanjian berlangsung tidak setara dan terlihat dari isi perjanjian berupa hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Kekuasaan dalam pembuatan keputusan berada pada satu pihak. Keputusan sepihak tersebut membuat 84,83% responden pengemudi Ojol menilai perubahan kebijakan tentang tarif, bonus, potongan, hingga sanksi cenderung merugikan pengemudi Ojol dan menguntungkan pihak perusahaan platform. Hanya 8,97% yang menyebut kebijakan menguntungkan dan 6,20% tidak mau menjawab.
Pemerintah terlalu membangakan perusahaan
Tidak ada niat baik dari perusahaan aplikator untuk menurunkan potongan aplikasi 30% untuk driver ojek online (ojol).[2] Menunjukan sikap arogansi aplikator tapi pemerintah tidak punya daya untuk bertindak tegas kepada perusahaan-perusahaan aplikator sampai saat ini.[3] Pemerintah terlalu memanjakan dan membangga-bangakan aplikator sebagai pencipta lapangan pekerjaan pasca pandemi Covid-19 dan alasan klasik dari aplikator belum memperoleh keuntungan? Perusahaan aplikator masih harus memotong komisi yang didapatkan oleh para pengemudi Ojol. Faktanya keuntungan yang didapat perusahaan aplikator sudah sangat berlimpah dan sudah mencapai posisi Unicorn dengan nilai perusahaan melebihi U$ 1 Milyar setara dengan Rp 16,8 Trilyun. Emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) melaporkan kinerja kuartal 2-2024 dengan membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 7,74 triliun hingga Juni 2024. Angka ini naik 12,4% jika dibandingkan dengan perolehan di periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 6,88 triliun.[4] GoTo juga menyampaikan panduan EBITDA grup yang disesuaikan4 positif untuk tahun 2025 di kisaran Rp1,4 triliun hingga Rp1,6 triliun.[5] Mirisnya dengan keutungan yang mencapai Trilyuanan para aplikator masih saja berbohong belum mendapatkan Profit. Pemerintah selalu menjadikan status para pengemudi Ojol dibuat status quo tidak pendapatkan perlindungan dari negara dan dibiarkan berstatus mitra palsu alias illegal. Kenaikan tarif ojek tidak diharapkan oleh para pengemudi Ojol, karena akan memberatkan konsumen dan kenaikan tarif hanya menguntungan perusahaan aplikator karna biaya komisi yang besar akan menggerus pendapatan para pengemudi Ojol. Program promo yang dibuat oleh aplikator hanya gimik atau tipuan bisnis yang hasilnya tidak didapatkan oleh para pengemudi Ojol. Potongan aplikasi untuk pengemudi sudah sangat jelas diatur dalam Kep Men Perubahan KP 1001 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Kep Men Hub Nomor KP 667 tahun 2022 tentang pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan Aplikasi. Diktum ke delapan disebutkan bahwa biaya aplikasi paling tinggi 15 % dan dapat menerapkan biaya dukungan kesejahteraan pengemudi paling tinggi 5 %, jadi total paling tinggi 20 %. [6] Kenyataan dilapangan aplikator menerapkan potongan sebesar 30 % bagi pendapatan pengemudi Ojol. Jelas ini melanggar aturan yang ada tapi pemerintah melakukan pembiaran selama ini ?
Cerita salah seorang pengemudi ojol sejak tahun 2017. Saat GoJek baru setahun ada di Yogyakarta, adalah masa kejayaan ojol. Pendapatan dan bonus yang fantastis membuat banyak orang tergiur menjadi ojol. Kondisi berubah tiga tahun terakhir. Saat pandemi aktivitas ojol nyaris mati, dan kini model pelevelan ojol mengubah nasibnya 180 derajat, orderannya benar-benar sepi. Bahkan untuk sekadar mendapat uang ongkos BBM dan operasional saat keluar rumah.
Orderan yang sepi tetapi keluarga harus hidup serba menghemat dengan pendapatan yang berkisar Rp3,8 juta per bulan dengan rincian:
Biaya makan: makan tiga kali sehari dengan nasi dan lauk berganti-ganti. Tempe, tahu, telur, sayur-mayur, ayam, dan berbagai jenis bumbu dapur; biaya sebulan Rp1.050.000. Beras Rp120 ribu/bulan dengan harga Rp12 ribu per kilogram, untuk makan sekeluarga sebanyak 3 orang. Belanja air minum Rp100 ribu/bulan (harga per galon Rp20 ribu). Total pengeluaran sebulan untuk makan sebesar Rp1.270.000. Biaya sekolah dan jajan anak Rp500 ribu/bulan, Bensin pertalite untuk mobilitas Rp300 ribu/bulan, biaya token listrik sekitar Rp250 ribu/bulan, BPJS kelas 3 (Rp35 ribu per orang) totalnya Rp105 ribu/bulan.
Utang: Angsuran pembelian sepeda motor Rp1 juta, lain-lain:Biaya pulsa dan paket internet dan kebutuhan lain Rp300 ribu/bulan Uang tersisa untuk kebutuhan lain-lain sebesar Rp75 ribu.
Penyedia Jasa Lari dari Tanggung Jawab
Peneliti Institut Pemerintahan dan Urusan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto juga menyebut pelevelan akun ojol telah dibikin layaknya game. Akun mana yang banyak memperoleh order akan lancar diberikan orderan oleh operator. Akun juga otomatis memperoleh poin sehingga memperbesar peluang akunnya naik level. Ketika berhasil mencapai target itu akan mendapatkan insentif, privilese, atau diprioritaskan. Ketika mereka gagal mereka kayak semacam kena sanksi. Akun ojol dengan level tertinggi, akan cenderung diprioritaskan memperoleh konsumen. Akun ojol yang tak bisa memecahkan game akan cenderung sepi konsumen meski aktif berjam-jam. Survei pada awal penerapan pelevelan akun ojol, yakni medio 2020. Denganmengambil 290 responden,hasilnya menunjukkan lebih dari 50 persen pengemudi Ojol anjlok pendapatannya, bahkan banyak yang pendapatannya di bawah Rp0 ribu per hari. Sementara masih ada yang akunnya gacor/prioritas, di mana pendapatannya lebih dari Rp200 ribu/hari, jumlahnya hanya sekitar 10%. Jadi dari (proporsinya) 1 Ojol yang gacor, ada 5 Ojol yang sepi order. Sistem pelevelan tersebut juga mendepolitisasi para pengemudi Ojol dan menancapkan narasi individualisme liberal. Pasalnya, jika pengemudi tidak mendapatkan bayaran layak atau pendapatan besar, maka yang disalahkan individu pengemudi. Mereka dianggap tak bekerja keras, tak bisa memecahkan game atau pelevelan tersebut. Penyedia jasa aplikasi seolah tak bisa disalahkan bila pengemudi ojol tak dapat penghasilan.Sehingga temen-temen (pengemudi ojol) ada yang menyebut akunnya harus diterapi, harus bekerja lebih dari 14 jam dan sebagainya. Sistem gamifikasi juga dituding cenderung eksploitatif karena tidak layak, bahkan tak adil. Pendapatan pengemudi Ojol yang sepi order cenderung sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan untuk sekadar merawat mesin kendaraan ke bengkel. Inti sistem gamifikasi adalah menciptakan persaingan di antara para kelas pekerja.[7] Saat kelompok ojol berdemonstrasi menuntut sistem kerja yang baik pasti akan ada yang memilih tidak ikut mogok. Dengan tidak mogok, pengemudi Ojol tersebut jadi lebih banyak memperoleh kesempatan dapat pelanggan dan memperbaiki levelnya. Ada yang memanfaatkan seperti itu. Artinya sebuah kompetisi mengadu domba terhadap pengemudi Ojol.
Perlu kemauan, komitmen, dan berjuang bersama-sama
Untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi pihak yang dalam posisi lemah, pengemusi Ojol tidak mungkin bergantung kepada kehendak baik perusahaan aplikasi. Sementara , pemerintah yang seharusnya melindungi pihak yang lemah dan menegakkan hubungan kemitraan yang sejati, pada kenyataannya justru membanggakan model ekonomi gig ini sebagai industri masa depan. Menyerahkannya melalui perjuangan di pengadilan seperti di Inggris yang berhasil mengubah mitra perusahaan platform menjadi karyawan perusahaan juga sulit. Sebab Inggris menerapkan sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang menetapkan keputusan pengadilan adalah hukum dan hakim adalah pencipta hukum. Di Indonesia, yang menerapkan civil law system, keputusan hakim tidak mengikat hakim yang lain. Sehingga jika ada konflik antara UU dan putusan hakim, yang dimenangkan adalah UU. Dengan demikian, untuk memperbaiki kesejahteraan bagi pekerja gig seperti pengemudi ojek online dapat dilakukan pemerintah dengan mengaturnya dalam undang-undang yang spesifik. UU No. 20 Tahun 2008 tidak secara spesifik mengatur hubungan kemitraan dalam ekonomi gig, sementara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 terbatas pada ojol roda 2. Peraturan ini tidak memasukkan permasalahan penting terkait kesalahan-pengklasifikasian atau penghindaran penerapan kemitraan sejati yang dilakukan oleh perusahaan platform. Karena undang-undang merupakan produk politik, maka seluruh pemangku kepentingan perlu memperkuat kemauan, komitmen, dan perjuangan politiknya. Sudah saatnya publik secara bersama mendorong terciptanya aturan hukum yang memberi perlindungan kerja layak dan adil bagi pekerja gig.
Masih ada harapan untuk terus memperjuangkan perbaikan nasib pengemudi Ojol dengan berserikat dan berjuang bersama tanpa kenal lelah. Serikat Pekerja sebagai alat perjuangan bisa terus memperjuangan perbaikan aturan baik ditingakat kementrian dan undangan undangan. Secara hukum pengemudi Ojol bisa dimasukkan katagori pekerja karena ada tiga hal yang mendasarinya yaitu; Ada hubungan kerja (pekerja dan pengusaha), ada perintah kerja (saat ada kehadiran maka pengemudi mulai bekerja ) dan ada upah (penghasilan yang didapat dari aplikator) Tidak dapat dibantah lagi bahwa kemitraan palsu yang selama ini dijalankan aplikator sudah sangat merugikan dan mengekploitasi para pengemudi Ojol tapi belum semua punya kesadaran penuh untuk berjuangan bersama-sama karna sistem gamafikasi sudah memecah belah dan mengadudompa para pengemudi Ojol. Dengan berserikat dan berjuang bersama-sama para pengemudi Ojol bisa mendesak aturan hukum khususnya Undang Undang Ketenagakerjaan yang menjamin adanya kepastian pekerjaan, kepastian upah layak dan kepastian jaminan sosial serta perlindungan dari resiko kesehatan dan keselamatan kerja (K3) karana resiko bekerja di jalan raya bagi para pekerja Ojol sangat tinggi.
[1] https://theconversation.com/riset-empat-alasan-kemitraan-gojek-grab-hingga-maxim-merugikan-para-ojol-159832 ( diakses pada 25 April 2025)
[2] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250119130030-4-604303/kisruh-30-potongan-aplikasi-ojol-pemerintah-diminta-turun-tangan (diakses pada 24 April 2025)
[3] https://www.tempo.co/ekonomi/potongan-komisi-oleh-aplikator-ojol-masih-tinggi-pengemudi-bukti-pemerintah-tak-berdaya-286619 (diakses pada 24 April 2025)
[4] https://www.cnbcindonesia.com/market/20240730173538-17-558964/konsisten-pendapatan-bersih-goto-juni-2024-naik-jadi-rp-774-t#:~:text=Total%20aset%20GOTO%20sebesar%20Rp,sebesar%20Rp%2035%2C72%20triliun. (diakses pada 24 April 2025)
[5] https://content.goinfra.co.id/asts/InvestorRelation/QuarterlyReport/Siaran%20Pers%20-%20GoTo%20Laporkan%20Kinerja%20Tahun%202024.pdf (diakses pada 24 April 2025)
[6] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250119130030-4-604303/kisruh-30-potongan-aplikasi-ojol-pemerintah-diminta-turun-tangan ( diakses pada 25 April 2025)
[7] https://projectmultatuli.org/rekayasa-gamifikasi-ojol-memaksa-mitra-bekerja-lebih-lama-giat-bikin-sengsara-level-terendah-dan-memecah-solidaritas/ (diakses pada 25 April 2025)