Titik Terang UMSK Jabar dan UMP DKI: Buruh FSPMI se-Jabar Diterima Istana, Data Sektoral Diserahkan ke Pusat

Titik Terang UMSK Jabar dan UMP DKI: Buruh FSPMI se-Jabar Diterima Istana, Data Sektoral Diserahkan ke Pusat

Jakarta, KPonline – Setelah beberapa waktu polemik penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026 di Jawa Barat tak kunjung menemukan kejelasan, secercah harapan akhirnya muncul. Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) se-Jawa Barat, berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menggelar aksi demonstrasi ke Istana Negara, Selasa (30/12/2025), dengan satu pesan tegas, UMSK harus dikembalikan pada prosedur hukum dan rekomendasi daerah.

Aksi ini terbilang tidak biasa. Ribuan buruh dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti; Purwakarta, Karawang dan Subang menempuh perjalanan panjang menggunakan sepeda motor menuju Jakarta.

Mereka membawa kegelisahan kolektif atas keputusan Gubernur Jawa Barat yang menetapkan UMSK 2026 secara parsial. Dari 19 kabupaten/kota yang mengajukan rekomendasi, hanya 12 daerah yang masuk dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur, namun tidak sesuai dengan rekomendasi bupati/walikota. Sementara 7 kabupaten/kota lainnya dihapus.

Sesampainya di Istana Negara, perwakilan massa buruh diterima secara resmi oleh Juri Ardiantoro selaku Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Afriansyah Noor. Pertemuan ini menjadi titik penting, karena untuk pertama kalinya polemik UMSK Jawa Barat dibahas langsung di lingkar kekuasaan pusat.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan FSPMI dan Perwakilan Daerah (Perda) KSPI tidak hanya menyampaikan aspirasi lisan, tetapi juga mengirimkan dan menyerahkan bukti serta data sektoral secara lengkap kepada pimpinan terkait, termasuk Dirjen dan Wamen di Kementerian Ketenagakerjaan.

Dokumen yang diserahkan antara lain:

•Kesepakatan kepala dinas tenaga kerja di daerah

•Daftar 486 sektor yang diusulkan oleh 19 kabupaten/kota

•Daftar 12 kabupaten/kota yang UMSK-nya di-SK-kan

•Daftar 7 kabupaten/kota yang rekomendasinya dicoret dari SK Gubernur

Data tersebut diminta untuk diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat sebagai dasar evaluasi dan kemungkinan revisi kebijakan.

Dugaan Cacat Prosedural Menguat. Dalam pemaparannya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FSPMI Jawa Barat, Suparno menegaskan bahwa penetapan UMSK 2026 di Jawa Barat diduga kuat cacat prosedural. Mengacu pada PP Nomor 49 Tahun 2025, khususnya Pasal 35I, ditegaskan bahwa:

•Penetapan UMSK merupakan kewenangan Gubernur berdasarkan rekomendasi Bupati/Wali Kota.

•Dewan Pengupahan Provinsi tidak memiliki kewenangan untuk mengoreksi, mengurangi, atau mencoret rekomendasi UMSK daerah.

Namun dalam praktiknya, kata Suparno, Gubernur Jawa Barat justru memaksakan pelibatan Dewan Pengupahan Provinsi dalam rapat penetapan UMSK pada 23 Desember hingga larut malam. Dewan tersebut diminta membahas ulang bahkan mengurangi dan mencoret rekomendasi resmi dari Bupati/Wali Kota, yang dinilai bertentangan dengan regulasi.

Akibatnya, SK Gubernur yang terbit tidak sepenuhnya mencerminkan rekomendasi daerah. Bahkan, dalam beberapa kasus, nilai UMSK justru diturunkan, seperti contoh penurunan dari Rp4.000.000 menjadi Rp3.900.000 di sektor tertentu.

Kemudian menurutnya, fakta lain yang memicu kemarahan buruh adalah penyusutan besar-besaran usulan sektoral. Dari 486 sektor yang diajukan oleh 19 kabupaten/kota, Gubernur Jawa Barat hanya menetapkan 49 sektor UMSK.

Penentuan sektor disebut-sebut merujuk pada PP 82 Tahun 2019 dan PP 28 Tahun 2025 terkait klasifikasi risiko kerja. Namun buruh menilai penerapan aturan tersebut tidak konsisten, karena:

•PP 49/2025 tidak mensyaratkan hanya sektor dengan risiko “tinggi” atau “paling tinggi”

•Terdapat lima tingkat risiko kerja, namun implementasinya menghasilkan tarif UMSK yang relatif seragam

•Selisih UMK dan UMSK sangat kecil, yakni sekitar Rp1.870 di beberapa daerah seperti Kabupaten Bandung Barat

Kondisi ini, kata Suparno dinilai berpotensi membuka ruang manipulasi klasifikasi KBLI dan merugikan buruh, terlebih di Jawa Barat yang memiliki lebih dari 11.000 perusahaan dan jutaan pekerja formal.

Sebagai tindak lanjut, perwakilan buruh bersama pemerintah pusat menyepakati sejumlah langkah:

•Menyusun ringkasan masalah untuk pertemuan lanjutan dengan pejabat terkait, termasuk Agung Nur

•Mempersiapkan pemanggilan Gubernur Jawa Barat (KDM)

•Berkomunikasi dengan Prana dan Intan untuk menindaklanjuti revisi atau rekomunikasi SK UMSK

•Seluruh hasil pertemuan akan dicatat secara tertulis sebagai dasar kebijakan selanjutnya

Langkah ini dinilai sebagai titik terang setelah kebuntuan panjang di tingkat provinsi.

Gaung Protes Tak Hanya dari Jawa Barat
Selain Jawa Barat, polemik upah juga menggema dari DKI Jakarta. Perwakilan Daerah (Perda) KSPI DKI menyampaikan kekecewaan atas penetapan upah pada 24 Desember lalu yang dinilai jauh di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) versi Kemenaker sebesar Rp5,8 juta.

Ketimpangan antar wilayah pun disorot. Bekasi, misalnya, menetapkan upah mendekati Rp5,9 juta, sementara DKI justru lebih rendah. Reklasifikasi sektor di DKI yang mengurangi jumlah sektor dari sekitar 50 menjadi hanya 22–25 juga dinilai mempersempit ruang perlindungan upah sektoral.

Menanti Keberpihakan Negara
Bagi buruh FSPMI dan KSPI, diterimanya mereka di Istana bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal dari pembuktian keberpihakan negara.

Mereka menuntut agar SK UMSK Jawa Barat direvisi sesuai rekomendasi Bupati/Wali Kota, serta meminta Kementerian Ketenagakerjaan memastikan praktik serupa tidak terulang di daerah lain.

Kini, bola berada di tangan pemerintah pusat. Buruh menunggu: apakah titik terang ini akan benar-benar menjadi jalan keluar, atau kembali meredup dalam labirin birokrasi?