Tertutup dan Tak Transparan, Data Tenaga Kerja PT RAPP Disorot FSPMI Pelalawan

Tertutup dan Tak Transparan, Data Tenaga Kerja PT RAPP Disorot FSPMI Pelalawan

Pelalawan, KPonline – Ketua DPW FSPMI Riau, Satria Putra kembali mengangkat suara lantang terkait kondisi ketenagakerjaan yang dinilai tidak sehat di lingkungan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) dan perusahaan-perusahaan subkontraktornya. Yudi menyebut telah terjadi ketimpangan struktural dalam rekrutmen tenaga kerja, di mana mayoritas posisi lapangan hingga teknis lebih banyak diberikan kepada pekerja dari luar daerah, sementara ribuan masyarakat Pelalawan yang berkompeten masih terjebak dalam pengangguran. “Ada sesuatu yang tidak beres dalam pola rekrutan ini, dan pemerintah daerah tidak boleh pura-pura tidak tahu,” tegasnya.

Menurut catatan dan temuan FSPMI di lapangan, persentase tenaga kerja dari luar daerah yang bekerja di subkontraktor PT RAPP disebut jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja lokal. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa perusahaan industri raksasa yang berdiri di tanah Pelalawan justru minim menyerap masyarakat setempat?, Satria menegaskan bahwa kondisi ini semakin menyakitkan ketika ditemui fakta bahwa anak-anak muda Pelalawan dengan latar belakang pendidikan SMK, diploma, hingga sarjana masih banyak yang tidak mendapatkan kesempatan. “Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini soal harga diri masyarakat Pelalawan,” ujarnya.

Belum lagi masalah ketidaksinkronan data tenaga kerja lokal yang bekerja dan yang masih menganggur. FSPMI menilai bahwa data ini tidak pernah dibuka secara transparan oleh perusahaan maupun Disnaker. Akibatnya, publik tidak memiliki gambaran jelas mengenai porsi tenaga kerja lokal yang sebenarnya telah terserap. Minimnya transparansi ini dianggap sebagai penyebab tumpulnya fungsi kontrol pemerintah dan sulitnya memastikan bahwa aturan prioritas tenaga kerja lokal dipatuhi. “Selama data tidak dibuka, selama itu pula kecurigaan publik akan terus hidup,” kata Satria.

Satria juga menyoroti lemahnya pengawasan dari dinas-dinas terkait, terutama Disnaker dan instansi teknis lainnya. Ia menilai instansi tersebut hanya hadir dalam bentuk rapat seremonial dan kunjungan formal, tanpa ada tindakan tegas terhadap pelanggaran nyata yang terjadi di lapangan. “Kami tidak butuh Disnaker yang hanya hadir di forum diskusi. Yang kami butuh adalah pengawasan nyata, bold, dan berani menindak perusahaan yang melanggar aturan,” tegasnya. Ia menilai ketidakseriusan Pemda dan dinas terkait inilah yang menyebabkan perusahaan merasa bebas memainkan pola rekrutmen sesuka hati.

Selain itu, FSPMI menyoroti bobroknya administrasi ketenagakerjaan pada perusahaan subkontraktor. Banyak subkon yang dinilai tidak melengkapi dokumen perizinan, tidak melaporkan jumlah pekerja secara akurat, hingga tidak memiliki sistem administrasi yang sesuai aturan ketenagakerjaan. Menurut Satria, ketidakrapian administrasi ini bukan hanya masalah teknis, tetapi membuka ruang besar bagi pelanggaran hak-hak pekerja, seperti upah tidak sesuai, jam kerja tidak manusiawi, hingga tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja.

Kondisi diperparah oleh minimnya transparansi data ketenagakerjaan, baik dari PT RAPP maupun subkontraktornya. Mulai dari jumlah pekerja, asal daerah, posisi yang diisi, hingga kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan—semua tertutup rapat. FSPMI menilai bahwa perusahaan sebesar PT RAPP seharusnya memiliki kewajiban moral dan sosial untuk membuka data tersebut kepada publik, terutama kepada pemerintah daerah sebagai pemilik wilayah operasional. “Transparansi bukan pilihan. Itu wajib. Kalau perusahaan menutup data, berarti ada sesuatu yang mereka sembunyikan,” tambah Satria dalam nada tajam.

Di akhir penyampaiannya, Satria mendesak Pemda Pelalawan, Disnaker, dan pihak PT RAPP untuk segera membenahi sistem rekrutmen, memperketat pengawasan subkontraktor, serta memprioritaskan tenaga kerja lokal sesuai amanat undang-undang. Ia menegaskan bahwa kehadiran PT RAPP dan industri lainnya seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat sekitar, bukan sumber ketidakadilan dan kecemburuan sosial. “Jika pemerintah tidak berani turun tangan, maka FSPMI akan terus berada di garis depan memperjuangkan hak-hak pekerja. Kami tidak akan diam, kami tidak akan mundur,” tutupnya.