SPEE FSPMI Desak PT. Haleyora Powerindo Patuhi Mandat Permenaker 28/2014 Demi 57 Ribu Pekerja

SPEE FSPMI Desak PT. Haleyora Powerindo Patuhi Mandat Permenaker 28/2014 Demi 57 Ribu Pekerja

Jakarta, KPonline – Eskalasi hubungan industrial di lingkungan PT. Haleyora Powerindo (HPI) mencapai puncaknya. Pada hari Selasa, 16 Desember 2025, Pengurus PUK SPEE FSPMI HPI Nasional mengambil langkah tegas dengan mendatangi langsung Kantor Pusat PT. Haleyora Powerindo di Jakarta.

Aksi “jemput bola” ini dilakukan dengan kekuatan penuh. Pengurus Nasional hadir didampingi solidaritas dari perwakilan PUK HPI sembilan daerah di Jawa Barat, yakni Cirebon, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Lampung dan Tasikmalaya.

Kehadiran mereka membawa satu misi menagih tanggung jawab manajemen yang dinilai telah menutup mata terhadap aspirasi 57.000 pekerja di seluruh Indonesia.

Abaikan Surat Setahun, Manajemen Langgar Pasal 17
Kedatangan rombongan ini dipicu oleh sikap manajemen yang dinilai “bisu”. Ketua PUK SPEE FSPMI HPI Nasional, Mohamad Machbub, mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa surat permohonan perundingan Bipartit yang dilayangkan serikat pekerja dari ke-1 hingga ke-4, selama hampir satu tahun, tidak pernah mendapat respons.

Padahal, secara hukum, manajemen tidak memiliki celah untuk menghindar. Machbub menegaskan bahwa PUK SPEE FSPMI telah berdiri sah dan tercatat. Mengacu pada Pasal 17 Permenaker Nomor 28 Tahun 2014, pengusaha memiliki kewajiban mutlak (mandatory) untuk melayani permintaan perundingan.

“Pasal 17 bunyinya jelas ‘Pengusaha HARUS MELAYANI’. Bukan sukarela, tapi wajib. Ketika manajemen diam selama setahun, artinya mereka secara sadar menabrak aturan negara,” tegas Machbub.

Ultimatum “Bertahan” dan Respons Pukul 14.00 WIB
Situasi di kantor pusat sempat memanas ketika selama hampir 3 jam, tidak ada satu pun direksi yang menemui massa. Machbub lantas mengeluarkan ultimatum untuk menduduki lobi dan tidak akan pulang sebelum ditemui pengambil keputusan.

Tekanan tersebut membuahkan hasil. Tepat pukul 14.00 WIB, Kepala Divisi Human Capital Management (Kadiv HCM), Pak Tedjo, akhirnya “turun gunung”. Mewakili manajemen, Pak Tedjo menyampaikan permohonan maaf dan menjelaskan bahwa jajaran manajer sedang fokus mengikuti Diklat, namun ia ditugaskan khusus untuk menemui serikat pekerja.

“Malu Cucu BUMN Aturan Masih Sepihak”
Dalam pertemuan tatap muka tersebut, Machbub langsung menyampaikan kritik pedas.

Ia menyoroti ironi besar PT. Haleyora Powerindo sebagai cucu perusahaan BUMN (PT. PLN) dengan 57.000 karyawan, namun tata kelolanya dinilai tertinggal.

“Jujur, malu perusahaan sebesar ini tapi belum punya Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Apalagi serikat pekerja sudah berdiri lama. Sangat tidak pantas jika nasib puluhan ribu pekerja digantung dengan aturan sepihak,” sentil Machbub di hadapan Pak Tedjo.

Machbub kemudian memaparkan alasan mendasar mengapa serikat pekerja bersikeras menuntut dua agenda utama: segera dimulainya perundingan PKB dan pemberlakuan sistem payroll iuran.

PKB Indikator Harmonis
Menutup argumentasinya, Machbub meluruskan stigma yang salah kaprah di kalangan manajemen. Ia menekankan bahwa PKB bukanlah ancaman, melainkan kebutuhan vital bagi kesehatan perusahaan.

“PKB itu indikator hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan harmonis,” ujar Machbub.

Ia menegaskan bahwa keharmonisan mustahil terjadi jika aturan main hanya ditentukan oleh satu pihak saja (manajemen) tanpa mendengarkan suara pekerja.

“Karena aturan hak dan kewajiban didasarkan pada hasil perundingan, bukan seperti peraturan perusahaan yang dibuat sepihak,” tegasnya.

Hasil Pertemuan : Tantangan Kajian & Janji Januari 2026
Setelah melalui diskusi panjang dan tajam, pertemuan tersebut akhirnya menghasilkan Notulensi Resmi yang menyepakati dua poin krusial sebagai tindak lanjut :

1. Manajemen Minta “Kajian PKB”
Pihak manajemen meminta Serikat Pekerja untuk menyusun sebuah “Kajian Kecil” mengenai betapa pentingnya urgensi PKB, serta tantangan dan peluang (opportunities) yang akan muncul, agar manajemen semakin yakin untuk melangkah.
Kedua belah pihak sepakat untuk bertemu kembali membahas kajian tersebut pada Minggu Kedua bulan Januari 2026.
2. Payroll Terganjal Aturan Direksi
Terkait sistem payroll iuran, manajemen menyatakan belum bisa mengabulkan karena terbentur aturan Direksi yang melarang adanya potongan di luar Pajak dan BPJS.

Menanggapi hasil ini, Machbub menginstruksikan jajarannya untuk segera menyusun kajian yang diminta. “Kami terima tantangan manajemen. Kami akan buktikan lewat kajian bahwa PKB menguntungkan perusahaan dan pekerja. Tapi ingat, Januari 2026 nanti tidak ada alasan lagi untuk menunda,” pungkasnya. (Uki)