Purwakarta, KPonline-Pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 bersiap menggelar kegiatan besar, yaitu Sosialisasi Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan tema Penerapan K3 di Perusahaan/Tempat Kerja Bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Agenda ini dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan terhadap Norma K3 serta penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 1970 dan PP No. 50 Tahun 2012.
Rencananya, kegiatan tersebut akan dihadiri oleh perwakilan serikat pekerja dan perusahaan se-Kabupaten Purwakarta. Namun, di balik semangat pemerintah menyebarkan pengetahuan, ada pertanyaan besar yang menggantung di ruang diskusi. Apakah para buruh benar-benar berani menegakkan K3 ketika kembali ke tempat kerja?
Itulah yang disuarakan lantang oleh Fuad BM, Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Purwakarta.
Dalam keterangannya, Fuad menegaskan bahwa SMK3 bukan sekadar konsep yang dipaparkan di layar proyektor saat sosialisasi, tetapi sistem wajib yang harus hidup di setiap perusahaan.
“SMK3 adalah sistem manajemen keselamatan kerja di perusahaan. Ini belajar pengaturan sistem keselamatan kerja. Jadi setiap perusahaan wajib menjalani sistem ini. Karena ini ketetapan pemerintah sebagai syarat perusahaan berdiri di Indonesia,” tegas Fuad.
Namun ada nada kritis yang ia tekankan keras: ketetapan bisa dibuat, peraturan bisa ditetapkan, tetapi apakah buruh di lapangan punya keberanian untuk memperjuangkan implementasinya?
Fuad mengingatkan bahwa sosialisasi hanya berguna jika setelah kembali ke pabrik masing-masing, para peserta berani bersuara.
“Nanti setelah balik ke perusahaan masing-masing berani nggak puk-puk ini mempermasalahkan K3 di tempat kerja sampai mediasi… ini yang kita harapkan. Jangan hanya ngopi, ngerokok, makan siang, terus bubar!”
Ia mencontohkan, banyak buruh bahkan belum berani memperjuangkan hal paling dasar: sepatu safety dan sarung tangan kerja yang merupakan hak dasar keselamatan.
“Memperjuangkan sepatu safety saja nggak berani. Memperjuangkan sarung tangan kerja juga nggak berani. Padahal di PKB harus ada pasal yang mengatur K3 dan itu harus diperjuangkan.”
Dalam nada yang lebih tegas, Fuad mengatakan bahwa tanpa keberanian menuntut, segala sosialisasi hanya akan menjadi seremonial rutin tanpa dampak.
Fuad menekankan pentingnya langkah konkret dan prosedural. Bukan aksi spontan, bukan sekadar keluhan lewat bisikan, tetapi pengaduan resmi.
“Tinggal implementasi di perusahaan. Apa saja yang tidak sesuai dengan sistem K3, mulai dikomplain secara resmi pakai surat, ajak meeting. Kalau tidak selesai, mediasi di Disnaker.”
Ia pun mengungkapkan bahwa mekanisme formal ini bukan sekadar hak, tetapi kewajiban serikat pekerja untuk memastikan keselamatan anggotanya.
Kegiatan sosialisasi yang akan digelar pemerintah tentu penting. Materinya akan lengkap, regulasinya jelas, narasumbernya kompeten. Namun seperti yang diingatkan Ketua FSPMI Purwakarta, persoalan terbesar bukan di ruang pertemuan, tetapi di lantai pabrik setelahnya.
Sosialisasi tidak akan mengurangi kecelakaan kerja, tidak akan mendadak menyediakan alat pelindung diri, tidak akan otomatis menghentikan pelanggaran K3 jika buruh dan serikat pekerja tidak berani bertindak.