Pelalawan, KPonline – Di tengah dinamika hubungan industrial dan ketenagakerjaan yang terus berubah, satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh setiap pekerja adalah bahwa hak-hak yang dinikmati hari ini—dari upah minimum, jaminan sosial, hingga jam kerja yang manusiawi – bukanlah hadiah dari pemilik modal atau penguasa. Semua itu adalah hasil dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan yang dilakukan oleh serikat pekerja. Tanpa suara kolektif, buruh hanyalah angka yang mudah dikorbankan.
Ironisnya, banyak pekerja non-serikat yang menikmati hasil perjuangan serikat tanpa ikut serta dalam perjuangan itu sendiri. Ketika serikat memperjuangkan kenaikan upah atau jaminan sosial, hasilnya dirasakan oleh seluruh buruh tanpa terkecuali. Namun, masih ada yang memandang sinis, bahkan mencibir aksi atau spanduk serikat seolah tak bernilai. Padahal, di balik setiap poster dan orasi itu, ada waktu, tenaga, dan resiko hukum yang dipikul oleh para pengurus serikat.
Kini, tantangan yang lebih besar datang dari dalam. Politik adu domba mulai merasuk ke lingkungan kerja. Buruh difasilitasi akses kerja bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan dengan elite atau kekuatan politik tertentu. Solidaritas yang dibangun susah payah mulai retak karena kepentingan pribadi yang dibungkus iming-iming proyek dan jabatan. Jika ini dibiarkan, buruh akan kembali terpecah dan mudah dikendalikan oleh kekuasaan.
Celakanya, ruang-ruang kerja kini tidak lagi netral. Serikat dihambat dengan berbagai cara, bahkan difitnah sebagai pengganggu ketenangan perusahaan. Mereka yang berani bersuara justru dikucilkan, sementara yang memilih diam diberi karpet merah oleh pengusaha. Inilah bentuk pembelahan kelas yang nyata, terjadi tidak di gedung parlemen, tapi di pabrik-pabrik dan kantor-kantor tempat buruh bekerja.
Perpecahan ini biasanya makin nyata menjelang momen-momen politik, seperti pemilu atau pemilihan kepala daerah. Saat itu, buruh dijadikan komoditas suara, dijanjikan kesejahteraan yang seolah akan datang seperti mukjizat. Padahal, setelah suara didapat, buruh tetap di posisi yang sama—menanti keadilan yang tak kunjung berpihak. Buruh tidak butuh janji politisi, buruh butuh hukum yang tegas dan berpihak.
Kuncinya hanya satu: jangan pernah lupakan bahwa kekuatan buruh adalah solidaritas. Jangan anggap sepele spanduk dan aksi. Itu bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan bentuk kerja nyata dan konsistensi perjuangan. Saat buruh bersatu, tak ada pengusaha atau kekuatan politik yang bisa menindas seenaknya. Jangan biarkan rasa individualis atau iming-iming elit menghancurkan tembok kebersamaan yang sudah lama dibangun.
Setiap buruh, baik yang tergabung dalam serikat maupun tidak, harus mulai menyadari bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan bersama. Jangan hanya menikmati hasil tanpa ikut menjaga semangat solidaritas. Serikat bukanlah musuh, tetapi rumah perjuangan. Jangan biarkan pihak luar memecah belah kita. Karena ketika buruh bersatu, tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan gelombang perubahan.
Penulis : Heri
Fhoto : By Google



