Malam itu, angin tak seberapa kencang, tapi cukup untuk menggoyangkan daun sawit dan semangat para buruh yang sedang ngobrol di teras rumah dinas. Riyan, anggota serikat pekerja FSPMI yang juga dikenal sebagai penulis aktif di media perdjoeangan, duduk bersila di atas lantai semen, ditemani secangkir kopi hitam, rokok kretek, dan tawa getir khas kehidupan pekerja perkebunan.
“Gimana mau update status perjuangan, sinyal aja masih perjuangan,” ucap Riyan sambil menepuk-nepuk HP-nya yang sejak siang tadi hanya menampilkan tulisan “E” di pojok kanan atas.
Upah tipis, Beban berat.
Dengan gaji yang tipis dan biaya hidup yang makin menggila, kehidupan di perumahan perkebunan ini seperti berjalan di atas tambang—butuh keseimbangan antara harapan dan kenyataan.
“Gaji kami tuh kayak mie instan: cepat habis dan harus dibumbui sabar biar enak,” celetuk Udin, teman Riyan, sambil menyesap kopi yang lebih banyak gulanya daripada bijinya.
Anak-anak buruh sekolah dengan semangat, para orang tua bekerja dengan tenaga penuh, meskipun dompet sering kosong di pertengahan bulan. Tapi hidup tetap jalan, meski jalannya kadang miring.
Internet Lemot, Semangat Ngotot
Di tengah keterbatasan sinyal yang lebih lemah dari janji manis bos, Riyan tetap gigih menulis dan mempublikasikan suara buruh lewat media perjuangan.
“Kadang artikel udah siap dari pagi, kirimnya baru bisa tengah malam, itupun pas angin timur datang dan sinyal naik dua bar,” keluhnya sambil tertawa.
Riyan tak gentar. Ia percaya bahwa perjuangan harus terus disuarakan, walau harus naik ke loteng rumah, angkat HP ke langit sambil gaya yoga demi sinyal.
“Kadang aku kirim tulisan malam ini, baru nyampe ke redaksi besok sore. Tapi gapapa, yang penting suara buruh tetap hidup. Lambat bukan berarti diam,” katanya, dengan bangga.
Bercanda Tapi Serius
Obrolan itu terus bergulir, dari harga sembako, istri yang minta ganti kulkas, hingga gosip sosial media yang selalu terlambat dua minggu. Tapi di balik tawa-tawa itu, ada kenyataan pahit yang tak bisa ditutupi.
“Kita ini kayak sinetron TV lama. Ceritanya bagus, tapi jaringannya nyangkut,” ujar Rahman sambil garuk-garuk kepala.
Namun di antara keterbatasan, semangat tak ikut mengecil. Riyan dan kawan-kawan percaya bahwa perubahan tidak datang dari diam, tapi dari suara yang terus disuarakan, meski lewat sinyal lemah dan HP jadul. Di pelosok perkebunan seperti ini, suara buruh masih terus berjuang mencari tempat. Tapi selama masih ada orang seperti Riyan dan kawan-kawan, perjuangan itu takkan padam meski harus dikirim lewat sinyal 2G dan semangat 4G.



