Purwakarta, KPonline-Hingga pertengahan Desember, kabar tentang Upah Minimum 2026 masih gelap gulita. Pemerintah tak kunjung mengumumkan besaran kenaikan upah minimum, meski tenggat waktu penetapan telah lewat sejak 21 November lalu. Situasi ini memunculkan tanda tanya besar sekaligus kecurigaan, benarkah kenaikan upah 2026 akan berkisar 8 hingga 10 persen sesuai tuntutan rakyat pekerja, atau bahkan lebih rendah dari itu?
Keterlambatan ini bukan sekadar soal administrasi. Bagi jutaan rakyat pekerja, upah minimum adalah soal hidup atau mati. Penentu apakah gaji bulanan 2026 mampu menutup kebutuhan dasar di tengah harga pangan yang terus melonjak. Ketika pemerintah memilih diam, keresahan pun tak terhindarkan.
Serikat pekerja menilai sikap pemerintah ini sebagai bentuk ketidakseriusan dalam melindungi kesejahteraan kaum buruh. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setahun lalu yang menegaskan pentingnya kebijakan pengupahan yang adil seolah diabaikan. Bahkan, hingga kini, belum ada tanda-tanda formula pengupahan yang transparan, belum ada kepastian, dan belum ada keberanian untuk berpihak.
“Kalau memang kenaikannya dibawah 8-10 persen, mengapa harus ditutup-tutupi? Kenapa harus melewati tenggat waktu?” menjadi pertanyaan yang ramai dilontarkan di basis-basis kaum buruh. Dan keterlambatan ini justru memperkuat dugaan bahwa angka kenaikan upah 2026 tak akan membawa harapan, melainkan kekecewaan baru.
Waktu terus berjalan, sementara pemerintah masih memilih bungkam. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat pekerja terhadap negara akan makin terkikis. Bagi pekerja upah adalah urat nadi. Dan hari ini, nadi itu tampak mati.